Gumuk di Jember - Dokumentasi Donny Dellyar
Tiba-tiba semua orang di kota kecil Jember sedang ramai membicarakan
gumuk, baik di warung-warung kopi apalagi di jejaring sosial. Ada apa
ya? Ow, ternyata kawan-kawan muda sedang gencar melakukan gerakan moral
penyelamatan gumuk bertajuk Save Gumuk.
Aksi kolektif ini bertujuan untuk menyegarkan kembali ingatan kita semua
(teristimewa masyarakat Jember dan sekitarnya) bahwa keberadaan gumuk
sangatlah penting. Tak heran jika dulu kota kecil ini pernah menyandang
gelar sebagai ‘Kota Seribu Gumuk.’
Bagaimana tidak penting, gumuk merupakan salah satu karakter geografis
Jember. Dipandang dari sisi pengetahuan, gumuk adalah laboratorium
geologis dan agroekosistem. Jika kita lihat dari sisi ekologi, gumuk
memegang peranan penting dalam tata air tanah. Juga, sebagai pemecah
angin alami. Untuk yang terakhir, saya pernah menuliskannya di artikel
berjudul, Gumuk di Jember: Pemecah Angin yang Alami.
Itulah gumuk, kita bisa melihat manfaatnya dari berbagai sisi. Baik
dari sisi pengetahuan, ekologi, ekonomi, sosial, maupun dari sisi budaya
di Jember.
Lalu, Gumuk Itu Apa?
Ketika anda melontarkan pertanyaan itu pada salah satu warga Jember,
maka anda akan diberi gambaran tentang sebuah gundukan yang menandakan
bahwa itu bukit. Ya benar, gumuk itu serupa dengan bukit tapi lebih
kecil. Juga, ada perbedaan dalam kandungannya. Pada gumuk ada terdapat
batu-batuan yang tidak dijumpai di gundukan lainnya. Salah satu batuan
andalannya untuk memenuhi permintaan pasar dunia adalah batu piring
(slate andesif). Batuan lainnya diantaranya adalah batu pondasi, batu
koral, batu pedang, dan batu padas.
Di KBBI, pengertian gumuk adalah bukit pasir di tepi laut. Hmm, meskipun
Jember memiliki garis pantai yang berhadapan langsung dengan Samudra
Hindia, tapi kok nurut saya kurang pas ya. Kurang mewakili. Entah bila
di daerah lain. Memang, kata ‘gumuk’ itu sendiri adalah adopsi dari
bahasa daerah (Jawa) untuk menyebut sebuah bukit kecil. Kalau menurut
Lembaga Penelitian Universitas Jember, gumuk merupakan istilah khusus
yang diberikan pada suatu bukit dengan ketinggian berkisar antara 1
meter hingga 57,5 meter. Saya baca itu di Tabloid IDEAS Edisi XV Tahun
2005.
Kelas ketinggian gumuk terbagi dalam 4 kategori:
1. Sangat rendah, kurang dari 10 meter
2. Rendah, antara 11 hingga 25 meter
3. Sedang, antara 26 hingga 50 meter
4. Tinggi, lebih dari 50 meter.
2. Rendah, antara 11 hingga 25 meter
3. Sedang, antara 26 hingga 50 meter
4. Tinggi, lebih dari 50 meter.
Contoh gumuk dengan kelas ketinggian sangat rendah | Dokumentasi Vj Lie
Menurut teori terkuat (Geologische Beschrijving van Java en Madoera -
Verbeek dan Vennema), keberadaan gumuk-gumuk di Jember disebabkan oleh
letusan Gunung Raung di masa yang lampau. Letusan itu mengalirkan lava
dan lahar. Aliran ini kemudian tertutup oleh bahan vulkanik yang lebih
muda sampai ketebalan puluhan meter (dari Raung Purba). Kemudian terjadi
erosi pada bagian-bagian yang lunak yang terdiri atas sedimen vulkanik
lepas-lepas selama kurang lebih 2000 tahun. Dari sanalah tercipta
topografi gumuk seperti yang ada sekarang ini.
Itulah kenapa unsur utama gumuk adalah batuan. Sebab gumuk berasal dari
lontaran gunung berapi. Setelah ribuan tahun formasi gumuk berubah.
Bagian atas gumuk menjadi tanah yang subur karena proses pelapukan
(sumber: Tabloid IDEAS Edisi XV Tahun 2005).
Gumuk, Cuma Ada di Tiga Tempat di Dunia?
Masih dari sumber yang sama, Tabloid Ideas - Persma Sastra Universitas Jember. Meskipun dimana-mana (di Pulau Jawa) banyak orang menyebut bukit dengan
istilah gumuk, tapi keduanya (bukit dan gumuk) memiliki kandungan yang
berbeda. Menurut Ir. Sutrisno M.S (Dosen Jurusan Ilmu Tanah Fak.
Pertanian Universitas Jember), hanya ada dua wilayah di Indonesia yang
mempunyai bentang alam berupa gumuk, yaitu di Jember dan Tasikmalaya. Tempat lain yang juga memiliki kekayaan alam berupa gumuk adalah di wilayah sekitar Gunung api Bandai San Jepang.
Jika memang demikian, maka hemat saya gumuk bukan hanya milik warga
Jember semata, melainkan adalah kekayaan SDA milik Indonesia. Sayang
sekali, kenyataan di lapangan berbeda dengan apa yang diharapkan.
Kebanyakan gumuk di Jember adalah milik pribadi dan sebagian besar telah
dieksploitasi secara membabi buta. Bolehlah material batuannya
dimanfaatkan, tapi tetap harus ada aturan yang jelas untuk menghindari
kerugian yang nampak maupun yang tak nampak.
Gumuk, Kekayaan Nusantara Yang Terancam Punah
Saat ini, rasanya Jember sudah tak pantas lagi menyandang predikat
sebagai kota seribu gumuk. Sudah banyak gumuk yang ditambang dan kini
rata dengan tanah. Jumlahnya pun kini tak sampai seribu.
Aturan hukum penggalian gumuk di Kabupaten Jember sebenarnya sudah
tertuang pada Keputusan Gubernur KDH I Jatim No 643 Tahun 1990. Dalam
keputusan tersebut tertuang pengaturan perijinan, pengawasan, dan
penerapan sangsi. Perijinan penambangan dituangkan dengan menggunakan
Surat Ijin Penambangan Daerah (SIPD) yang hak pengeluarannya ada pada
Kepala Dinas Pertambangan Daerah. Peraturan tersebut kemudian berlanjut
dengan Perda No. 17 Tahun 2002 tentang gumuk yang masuk kategori tambang
galian C.
Namun aturan hanyalah tinggal aturan. Penyelenggara Daerah dibuat tak
berdaya oleh status kebanyakan gumuk itu sendiri yang merupakan
kepemilikan pribadi. Logikanya, si pemilik gumuk memiliki hak penuh
untuk melakukan apa saja pada gumuk miliknya. Saya sendiri juga tidak
tahu, apakah sudah ada aturan yang bisa memantau pelanggaran hak privat
yang disalahgunakan secara berlebih hingga merugikan masyarakat?
Lha, tapi kalau masyarakatnya sendiri belum paham sepenuhnya akan fungsi
dan manfaat gumuk (baik langsung atau tidak langsung), maka proses
penyelamatan gumuk akan menjadi semakin sulit.
Saya kira, pihak penyelenggara daerah dan instansi terkait sudah
mengupayakan berbagai macam cara. Toh, masalah gumuk adalah isu lama. Mosok
mereka mau diam saja? Kan penambangan batuan gumuk sudah dilakukan
sejak puluhan tahun yang lalu. Kalau mereka diam saja, berarti buta.
Kalau mereka sudah mengupayakan banyak hal dan dirasa tidak berhasil,
maka masalahnya hanya ada pada satu hal, yaitu tentang hak kepemilikan
tanah. Dalam hal ini, penyelenggara daerah tidak mempunyai power untuk
mengelola gumuk kecuali mereka membeli semua gumuk-gumuk yang ada di
Jember. Dan tentu saja itu akan mengeluarkan dana yang sangat besar. Ini
langkah yang tidak populer di mata birokrat.
Sebenarnya, segala peraturan itu butuh ditinjau ulang. Mengingat
kenyataan di lapangan menunjukkan sektor tambang galian C belum
terpantau dengan baik oleh bidang hukum, baik dari segi pengaturan
maupun penegakan hukumnya.
Gerakan Moral Save Gumuk
Sekarang, mari kita bicarakan kembali tentang gerakan moral Save Gumuk,
sebuah gerakan kolektif di Jember yang saat ini (dan entah sampai kapan)
sedang hangat-hangatnya diobrolkan. Acara Save Gumuk murni digagas dan dilaksanakan secara kolektif oleh
kawan-kawan Jember, terutama yang ada di wilayah kampus Bumi tegal Boto.
Save Gumuk diusung secara bersama-sama, tanpa ada embel-embel
apapun selain atas nama kesadaran lingkungan, sosial, budaya, dan
pengetahuan. Pendanaannya pun bersifat kolektif. Begitu juga dengan
persebaran informasinya. Saling melengkapi dan saling menguatkan.
SAVE GUMUK
Ada dua poin yang ingin dicapai dalam rangkaian acara Save Gumuk ini.
Yang pertama, sosialisasi tentang fungsi dan peranan gumuk di Jember.
Ini juga bisa ditinjau dari sisi sejarah kota Jember. Kita tahu,
ketertarikan pengusaha Belanda untuk menjadikan kota Jember sebagai kota
penghasil tembakau (dan menyusul hasil perkebunan lainnya) adalah
karena kondisi geografisnya yang berada diantara Gunung Raung dan Gunung
Argopuro. Khusus tembakau, tanaman ini memerlukan kondisi spesifik
seperti tanah lembab, angin yang tidak terlalu keras, dan terhindar dari
cahaya matahari langsung. Itu semua terwakili oleh kota Jember (Ir.
Sutrisno M.S - IDEAS 2002).
Sekarang poin kedua yang ingin dicapai dari acara Save Gumuk. Yaitu
ingin membeli gumuk secara kolektif. Dengan tujuan, merubah hak
kepemilikan pribadi menjadi kepemilikan bersama. Perkara nanti gumuk itu
diwakafkan (misal) hingga tak lagi memiliki daya tawar ekonomi, itu apa
kata nanti. Bisa diobrolkan sambil berjalan. Yang penting, proses Save
Gumuk dimulai dulu. Untuk poin dua ini, orientasinya bukan melulu hasil,
tapi proses.
Sumber http://green.kompasiana.com/penghijauan/2013/09/21/save-gumuk-591805.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar