Terbayang sebuah acara yang tidak kalah dengan suasana Save Gumuk pertama di gumuk Gunung Batu
Sumbersari. Acara ini penuh dengan misteri. Mas RZ. Hakim tidak mau memberi
penjelasan lebih utuh, dia hanya memberikan sedikit clue, “Ada temen-temen dari Kalisat membuat acara diskusi gumuk.
Acaranya juga pake obor. Persis
seperti acara kita kemarin.”
Tidak hanya itu, rute perjalanan kami ke tempat acara pun
tidak dijelaskan. Kembali lagi dia memberikan clue, “Nanti kita dijemput di depan RSUD Kalisat,” katanya lagi.
Entahlah, apa memang mas Hakim sengaja memberikan rasa penasaran kepada kami,
ataukah memang dia benar-benar tidak tahu.
Jam empat sore, kami, pers mahasiswa (persma) berkumpul di
tempat mas Hakim. Jam empat ala kami, berkisar setengah sampai satu jam lebih
lambat dari jam sebenarnya. Mendung dan gerimis menemani sore. Sempat khawatir
meski tak jadi soal jika memang benar-benar akan terjadi hujan. Sampai setelah
semua orang berkumpul, kami berangkat menggunakan sepeda motor masing-masing.
Dari Penaongan, sebutan dari barak mas Hakim, ber-15 orang
kami berangkat. Mendung masih terlihat ingin memuntahkan air. Tapi hanya jatuh
gerimis dengan butiran air yang tak sampai membasahi pakaian yang kami kenakan.
Kalisat terletak sekitar 30 menit perjalanan ke arah utara
Jember. Dengan kontur daerah yang penuh dengan perbukitan. Karena dekat dengan
gunung Raung purba yang pernah meletus hingga melahirkan seribu lebih gumuk di
Jember. Makanya, tak heran jika banyak gumuk di kanan-kiri jalan menuju tempat
berlangsungnya acara.
Seperti apa yang sudah saya katakan, perjalanan ini masih
misterius. Mas Hakim sendiri masih konsisten dengan ketidaktahuannya. Kami
berhenti di pertigaan depan RSUD Kalisat pas ketika senja mengantar matahari ke
ufuk bagian barat. Kami pun menunggu jemputan dari panitia dan teman-teman yang
masih tertinggal di belakang saat perjalanan.
Setengah jam berselang, tiga orang datang menghampiri kami.
Saya mencoba mencari tahu lebih dalam tentang acara ini dari mereka. Ketiganya
ternyata bukan panitia tapi alumni dari pecinta alam SMAN 1 Kalisat, bernama
ekspedisi pecinta alam (Expa). Mereka bilang bahwa tempat acara sudah dekat,
hanya sekitar satu kilometer. Dia sedikit menggambarkan setting acaranya penuh dengan hiasan obor dan nantinya akan diisi
dengan diskusi dan berbagai acara hiburan.
Kemudian mas Hakim menemui mereka. Dari obrolan merekalah
kecurigaanku muncul bahwa mas Hakim sebenarnya sudah tahu. Dia kesana sekitar
dua hari sebelumnya. Meski dia bilang hanya mampir di sekretariatnya saja.
Setelah semua orang sudah berkumpul, kami berangkat meneruskan perjalanan.
Memang tidak begitu jauh, hanya saja di sepanjang perjalanan, setelah keluar
dari jalan beraspal, tidak ada lampu penerang jalan. Begitu pelan kami menyusuri
jalan. Sebelah kanan ada sungai dan jalan yang kami lalui berupa tanah berbatu.
Kami menyeberangi dua sungai dengan dam (pintu air) yang
menyambung. Karena memang sungainya berjejer sangat dekat. Jalan dari keluar
aspal sampai pada pintu air itupun tidak lebih lebar dari dua meter dan hanya
diterangi dengan lampu sepeda motor kami. Kami merayap begitu pelan.
Setelah melewati sungai yang berjejer itu, terlihat
obor-obor dari botol bekas di kanan-kiri jalan. Cahaya temaram, suara aliran
sungai, angin malam dan suhu dingin seolah saling melengkapi membentuk suasana
yang sulit digambarkan. Sampai pada tempat acara, kami disambut oleh panitia
dan taman yang cukup luas, dengan rumput dan tanaman yang tertata rapi. Sebuah
gazebo, space panggung yang telah
dihias dengan obor, dan peralatan sound lengkap dengan alat musik. Background panggung terbuat dari bahan vinyl bertuliskan “Diskusi Save Gumuk,
Cangkruk Bareng Arek-Arek Expa, SMAN 1 Kalisat, 16.42 Kali Jejer Dawuhan Kembar,
12 Oktober 2013”.
Kami pun berkenalan dengan mas Bajil, pelatih Expa. Dari
dialah tabir acara ini mulai tersingkap. Mas Bajil ikut hadir dalam acara Save
Gumuk sebelumnya (28 September 2013) dan dia mengaku merasa sangat tertarik
dengan pelestarian gumuk. Kemudian dengan bantuan mas Hakim, akhirnya tercetuslah
acara yang bertajuk diskusi tentang gumuk ini. Acara ini juga salah satu dari
rangkaian agenda Expa dalam memperingati hari kelahirannya sejak 2008 lalu.
Suatu hari untuk kembali merenungi makna dari kelahiran itu sendiri.
Cangkru’an
Beberapa rombongan datang. Ada empat komunitas yang datang
pada malam itu. Karena memang dibatasi hanya dalam ruang lingkup internal.
Persma, Pecinta Alam Swapenka Sastra, Keluarga Tamasya dan Expa sendiri. Selain
itu, ada juga seorang yang diundang oleh mas Hakim secara khusus, yaitu Cak
Dainuri. Cak Dai sangat konsisten berjuang di advokasi lingkungan.
Mas Hakim membuka diskusi dengan mengkaitkan antara sejarah
dan mitologi Jember dengan gumuk. “Orang dulu meletakkan makam di bawah pohon
tinggi atau di atas tempat tinggi seperti gumuk. Makanya tidak heran jika
banyak nama gumuk dinamakan tokoh-tokoh mitologi,” tuturnya.
Selain itu mas Hakim juga membicarakan tentang seset atau capung. Seset mampu mendeteksi sumber mata air alami, dia menduga di setiap
gumuk pasti mempunyai jenis seset yang
berbeda-beda. Asumsi ini dikaitkan dengan teori bahwa gumuk sebagai galon
penyimpan air alami. Dia mulai dengan mencari seset kemudian mencari nama lokal dan nantinya dibandingkan sumber
refrensi buku atau internet.
Menyambung perkataan dari mas Hakim, Cak Dai mencoba
mengkaitkan teori aliran air, dari up
land menuju low land. Up land
berada pada daerah Jember utara. Dikatakan up
land karena berada di dataran tinggi dan dekat dengan gunung Raung purba.
Dan yang paling dekat dengan gunung Raung purba adalah Kalisat. Aliran air itu
membawa unsur hara yang baik untuk pertanian. Kondisi ini berpengaruh pada
produktifitas daerah low land lebih
besar. Padi di daerah utara Jember (up
land), berkisar 5 sampai 6 ton per hektar. Sedangkan, bagian selatan (low land) sampai 8 ton per hektar. Aliran
hara ini juga bisa berpengaruh pada penggunaan pupuk. Jika up land terjaga, maka persentase penggunaan pupuk bisa berkurang 50
persen.
Namun Cak Dai menegaskan untuk tidak seketika percaya denga
apa yang telah dia katakan. Dia ingin mengajak temen-temen untuk tidak puas
dengan sesuatu yang belum terbukti secara ilmiah. “Jangan puas dengan apa yang
sudah kita miliki sekarang. Ayok belajar untuk terus memperdalam pengetahuan
dan kecintaan kita pada lingkungan,” ajaknya.
Setelah mas Hakim dan Cak Dai, hadir guru pembina Expa. Dia
memperkenalkan diri dengan nama lapang Ajem. Pak Ajem lebih pada menceritakan
pengalaman-pengalamannya dulu saat masih sebagai seorang mahasiswa pecinta alam
di tahun 1980. Namun, sampai sekarang pun dia masih peduli dengan dunia pecinta
alam. Terbukti dengan kehadirannya di setiap kegiatan Expa seperti pada malam
itu. Dia juga menyampaikan bahwa Expa akan mempunyai gumuk hasil donasi dari
seorang pengusaha kenalan alumni Expa. Dia berharap anak Expa dapat menjadi
pecinta alam yang benar-benar peduli dengan alam.
Mas Hakim, pembicara sekaligus yang memediasi forum,
mewacanakan forum-forum seperti ini akan terus hadir mengisi minimnya data-data
dan pengetahuan tentang gumuk. Sekaligus sebagai forum sosialisasi Save Gumuk. “Tidak
banyak data yang kita miliki tentang gumuk. Untuk itu diskusi ini akan mengisi
celah-celah itu. Mari berdansa dengan alam raya,” tuturnya.
Acara selanjutnya berlanjut dengan hiburan dari band
temen-temen Expa sendiri, ada fashion
show dengan tema Jember Tobacco City,
dan makan bareng dengan beralaskan daun pisang memanjang di tengah tempat
diskusi. Euforia setelah acara terlihat begitu meriah. Foto bareng, dan
berlanjut dengan obrolan kecil dari masing-masing peserta diskusi.
Malam dalam selimut cahaya temaram obor, seakan meneguhkan
langkah kami untuk terus peduli terhadap gumuk. Sebuah cagar alam, dan potensi
cagar budaya yang masih tersimpan dalam tubuhnya. Semoga eksploitasi gumuk
beralih pada eksplorasi fungsi, geologi, dan segala macam bentuk pemanfaatannya
terhadap masyarakat. Tidak hanya Jember, tapi setiap tempat yang memiliki
gumuk. [Dian Teguh Wahyu Hidayat]
Salam Lestari! Salam Budaya! Salam Persma!
Jabat Erat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar