Senin, 04 November 2013

Gumuk dan Capung

Sebentar-sebentar, orang-orang berkata jika serangga bangsa Odonata bernama capung ini adalah indikator air bersih. Maksudnya apa? Hmmm.. Konon, di dalam tubuh capung ada terdapat seperangkat penciuman dan daya deteksi zat berbahaya. Jadi, capung akan menjauhi kualitas air yang mengandung limbah.

Lalu apa hubungan antara capung dan gumuk? Nah, untuk menjawab ini, kita butuh memahami sebuah gerakan yang dilancarkan oleh muda mudi Jember, apalagi kalau bukan Save Gumuk.

 
Save Gumuk

Jember adalah sebuah Kabupaten di Jawa Timur yang diapit oleh dua gunung besar, Raung dan Argopuro. Sementara di sisi selatan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Kota ini pernah dijuluki sebagai Kota Seibu Gumuk. Namun, Kemajuan jaman membawa implikasi pada dieksploitasinya gumuk-gumuk di Jember. Sepertinya banyak yang lupa jika gumuk memiliki dua fungsi vital diantara fungsi-fungsi yang lain.

1. Sebagai penetralisir angin
2. Sebagai galon air raksasa.

Oleh karena kesadaran kritis tersebut, hadirlah gagasan Save Gumuk versi para muda. Acara yang digawangi oleh kawan-kawan Persma Jember ini ingin mencapai dua poin inti.

1. Sosialisasi tentang fungsi dan peranan gumuk di Jember
2. Ingin membeli gumuk secara kolektif.

Adapun yang diutamakan dalam kegiatan tersebut adalah proses sosialisasi tentang fungsi dan peranan gumuk. Tentang rencana pembelian gumuk secara kolektif, diharapkan tidak melemahkan tujuan pertama melainkan sebaliknya, yaitu menguatkan. Dengan begitu, semua sama-sama belajar tentang bagaimana caranya berproses dan menghargai proses.

 
Gumuk dan Capung

 Gumuk dan capung, keduanya sama-sama terkait erat dengan sumber kehidupan bernama air. Gumuk sebagai galon air alami, sedangkan capung adalah pendeteksi alami keberadaan air bersih. Semakin banyak capung, semakin tinggi indikasi adanya air (mata air) bersih. Itulah sebabnya capung disebut sebagai indikator air.

Ketika kita bisa mempelajari dunia capung, diharapkan bukan hanya gumuk yang mendapat efek positifnya, tapi juga yang lain, seperti misalnya sungai bedadung. Setidaknya, kita jadi bisa memprediksi kualitas air di sekitar rumah kita sendiri.

Penggunaan parameter fisik dan kimia dalam hal mendeteksi pencemaran air hanya akan efektif apabila telah terjadi kerusakan lingkungan yang parah. Kenapa kita tidak mempercayakan pada capung untuk melakukan pemantauan kualitas air?  [VJ Lie]


Naturalia non sunt turpia. Segala hal yang alami tidak memalukan.

Sumber:  http://pungca.blogspot.com/2013/10/gumuk-dan-capung.html

Setapak Lagi Untuk Save Gumuk

Terbayang sebuah acara yang tidak kalah dengan suasana Save Gumuk pertama di gumuk Gunung Batu Sumbersari. Acara ini penuh dengan misteri. Mas RZ. Hakim tidak mau memberi penjelasan lebih utuh, dia hanya memberikan sedikit clue, “Ada temen-temen dari Kalisat membuat acara diskusi gumuk. Acaranya juga pake obor. Persis seperti acara kita kemarin.”

Tidak hanya itu, rute perjalanan kami ke tempat acara pun tidak dijelaskan. Kembali lagi dia memberikan clue, “Nanti kita dijemput di depan RSUD Kalisat,” katanya lagi. Entahlah, apa memang mas Hakim sengaja memberikan rasa penasaran kepada kami, ataukah memang dia benar-benar tidak tahu.

Jam empat sore, kami, pers mahasiswa (persma) berkumpul di tempat mas Hakim. Jam empat ala kami, berkisar setengah sampai satu jam lebih lambat dari jam sebenarnya. Mendung dan gerimis menemani sore. Sempat khawatir meski tak jadi soal jika memang benar-benar akan terjadi hujan. Sampai setelah semua orang berkumpul, kami berangkat menggunakan sepeda motor masing-masing.

Dari Penaongan, sebutan dari barak mas Hakim, ber-15 orang kami berangkat. Mendung masih terlihat ingin memuntahkan air. Tapi hanya jatuh gerimis dengan butiran air yang tak sampai membasahi pakaian yang kami kenakan. 

Kalisat terletak sekitar 30 menit perjalanan ke arah utara Jember. Dengan kontur daerah yang penuh dengan perbukitan. Karena dekat dengan gunung Raung purba yang pernah meletus hingga melahirkan seribu lebih gumuk di Jember. Makanya, tak heran jika banyak gumuk di kanan-kiri jalan menuju tempat berlangsungnya acara.

Seperti apa yang sudah saya katakan, perjalanan ini masih misterius. Mas Hakim sendiri masih konsisten dengan ketidaktahuannya. Kami berhenti di pertigaan depan RSUD Kalisat pas ketika senja mengantar matahari ke ufuk bagian barat. Kami pun menunggu jemputan dari panitia dan teman-teman yang masih tertinggal di belakang saat perjalanan.

Setengah jam berselang, tiga orang datang menghampiri kami. Saya mencoba mencari tahu lebih dalam tentang acara ini dari mereka. Ketiganya ternyata bukan panitia tapi alumni dari pecinta alam SMAN 1 Kalisat, bernama ekspedisi pecinta alam (Expa). Mereka bilang bahwa tempat acara sudah dekat, hanya sekitar satu kilometer. Dia sedikit menggambarkan setting acaranya penuh dengan hiasan obor dan nantinya akan diisi dengan diskusi dan berbagai acara hiburan.

Kemudian mas Hakim menemui mereka. Dari obrolan merekalah kecurigaanku muncul bahwa mas Hakim sebenarnya sudah tahu. Dia kesana sekitar dua hari sebelumnya. Meski dia bilang hanya mampir di sekretariatnya saja. Setelah semua orang sudah berkumpul, kami berangkat meneruskan perjalanan. Memang tidak begitu jauh, hanya saja di sepanjang perjalanan, setelah keluar dari jalan beraspal, tidak ada lampu penerang jalan. Begitu pelan kami menyusuri jalan. Sebelah kanan ada sungai dan jalan yang kami lalui berupa tanah berbatu.

Kami menyeberangi dua sungai dengan dam (pintu air) yang menyambung. Karena memang sungainya berjejer sangat dekat. Jalan dari keluar aspal sampai pada pintu air itupun tidak lebih lebar dari dua meter dan hanya diterangi dengan lampu sepeda motor kami. Kami merayap begitu pelan.

Setelah melewati sungai yang berjejer itu, terlihat obor-obor dari botol bekas di kanan-kiri jalan. Cahaya temaram, suara aliran sungai, angin malam dan suhu dingin seolah saling melengkapi membentuk suasana yang sulit digambarkan. Sampai pada tempat acara, kami disambut oleh panitia dan taman yang cukup luas, dengan rumput dan tanaman yang tertata rapi. Sebuah gazebo, space panggung yang telah dihias dengan obor, dan peralatan sound lengkap dengan alat musik. Background panggung terbuat dari bahan vinyl bertuliskan “Diskusi Save Gumuk, Cangkruk Bareng Arek-Arek Expa, SMAN 1 Kalisat, 16.42 Kali Jejer Dawuhan Kembar, 12 Oktober 2013”.

Kami pun berkenalan dengan mas Bajil, pelatih Expa. Dari dialah tabir acara ini mulai tersingkap. Mas Bajil ikut hadir dalam acara Save Gumuk sebelumnya (28 September 2013) dan dia mengaku merasa sangat tertarik dengan pelestarian gumuk. Kemudian dengan bantuan mas Hakim, akhirnya tercetuslah acara yang bertajuk diskusi tentang gumuk ini. Acara ini juga salah satu dari rangkaian agenda Expa dalam memperingati hari kelahirannya sejak 2008 lalu. Suatu hari untuk kembali merenungi makna dari kelahiran itu sendiri.


Cangkru’an
Beberapa rombongan datang. Ada empat komunitas yang datang pada malam itu. Karena memang dibatasi hanya dalam ruang lingkup internal. Persma, Pecinta Alam Swapenka Sastra, Keluarga Tamasya dan Expa sendiri. Selain itu, ada juga seorang yang diundang oleh mas Hakim secara khusus, yaitu Cak Dainuri. Cak Dai sangat konsisten berjuang di advokasi lingkungan.

Mas Hakim membuka diskusi dengan mengkaitkan antara sejarah dan mitologi Jember dengan gumuk. “Orang dulu meletakkan makam di bawah pohon tinggi atau di atas tempat tinggi seperti gumuk. Makanya tidak heran jika banyak nama gumuk dinamakan tokoh-tokoh mitologi,” tuturnya.

Selain itu mas Hakim juga membicarakan tentang seset atau capung. Seset mampu mendeteksi sumber mata air alami, dia menduga di setiap gumuk pasti mempunyai jenis seset yang berbeda-beda. Asumsi ini dikaitkan dengan teori bahwa gumuk sebagai galon penyimpan air alami. Dia mulai dengan mencari seset kemudian mencari nama lokal dan nantinya dibandingkan sumber refrensi buku atau internet.

Menyambung perkataan dari mas Hakim, Cak Dai mencoba mengkaitkan teori aliran air, dari up land menuju low land. Up land berada pada daerah Jember utara. Dikatakan up land karena berada di dataran tinggi dan dekat dengan gunung Raung purba. Dan yang paling dekat dengan gunung Raung purba adalah Kalisat. Aliran air itu membawa unsur hara yang baik untuk pertanian. Kondisi ini berpengaruh pada produktifitas daerah low land lebih besar. Padi di daerah utara Jember (up land), berkisar 5 sampai 6 ton per hektar. Sedangkan, bagian selatan (low land) sampai 8 ton per hektar. Aliran hara ini juga bisa berpengaruh pada penggunaan pupuk. Jika up land terjaga, maka persentase penggunaan pupuk bisa berkurang 50 persen.

Namun Cak Dai menegaskan untuk tidak seketika percaya denga apa yang telah dia katakan. Dia ingin mengajak temen-temen untuk tidak puas dengan sesuatu yang belum terbukti secara ilmiah. “Jangan puas dengan apa yang sudah kita miliki sekarang. Ayok belajar untuk terus memperdalam pengetahuan dan kecintaan kita pada lingkungan,” ajaknya.

Setelah mas Hakim dan Cak Dai, hadir guru pembina Expa. Dia memperkenalkan diri dengan nama lapang Ajem. Pak Ajem lebih pada menceritakan pengalaman-pengalamannya dulu saat masih sebagai seorang mahasiswa pecinta alam di tahun 1980. Namun, sampai sekarang pun dia masih peduli dengan dunia pecinta alam. Terbukti dengan kehadirannya di setiap kegiatan Expa seperti pada malam itu. Dia juga menyampaikan bahwa Expa akan mempunyai gumuk hasil donasi dari seorang pengusaha kenalan alumni Expa. Dia berharap anak Expa dapat menjadi pecinta alam yang benar-benar peduli dengan alam.


Mas Hakim, pembicara sekaligus yang memediasi forum, mewacanakan forum-forum seperti ini akan terus hadir mengisi minimnya data-data dan pengetahuan tentang gumuk. Sekaligus sebagai forum sosialisasi Save Gumuk. “Tidak banyak data yang kita miliki tentang gumuk. Untuk itu diskusi ini akan mengisi celah-celah itu. Mari berdansa dengan alam raya,” tuturnya.

Acara selanjutnya berlanjut dengan hiburan dari band temen-temen Expa sendiri, ada fashion show dengan tema Jember Tobacco City, dan makan bareng dengan beralaskan daun pisang memanjang di tengah tempat diskusi. Euforia setelah acara terlihat begitu meriah. Foto bareng, dan berlanjut dengan obrolan kecil dari masing-masing peserta diskusi.

Malam dalam selimut cahaya temaram obor, seakan meneguhkan langkah kami untuk terus peduli terhadap gumuk. Sebuah cagar alam, dan potensi cagar budaya yang masih tersimpan dalam tubuhnya. Semoga eksploitasi gumuk beralih pada eksplorasi fungsi, geologi, dan segala macam bentuk pemanfaatannya terhadap masyarakat. Tidak hanya Jember, tapi setiap tempat yang memiliki gumuk. [Dian Teguh Wahyu Hidayat] 

Salam Lestari! Salam Budaya! Salam Persma!
Jabat Erat!

Gumuk Menangis

Foto Oleh Joko Cahyono
Ikon kedua setelah tembakau di kabupaten jember adalah Gumuk. Gumuk merupakan gundukan tanah yang tinggi seperti halnya bukit atau gunung kecil. Jember juga pernah dijuluki kabupaten dengan seribu gumuk. Tapi keberadaan gumuk tidak mendapat perhatian secara khusus dari pemerintah daerah jember. Sebagian besar kepemilikan gumuk merupakan milik perseorangan. Sehingga seiring dengan berkembangan jaman dan kebutuhan ekonomi semakin meningkat, para pemilik gumuk akhirnya menjual gumuk mereka. Lebih ngirisnya lagi gumuk- gumuk yang telah dijual akan dieksploitasi. Sehingga keberadaan gumuk di jember semakin berkurang.


Gumuk yang termasuk dalam pertambangan galian C banyak mengandung  batu piring, pasir, dan batu pondasi (prejeng). Hal tersebut membuat para pemilik gumuk melakukan penambangan. Akibat dari penambangan tersebut membuat ekosistem yang ada di sekitar gumuk menjadi rusak. Para binatang- binatang yang berhabitat di gumuk masuk ke pemukiman penduduk dan tumbuhan-tumbuhan yang adapun mati.

Eksploitasi yang berlebihan membuat manfaat gumuk seperti diabaikan. Padahal gumuk memiliki fungsi yang penting seperti paru- paru kota,  resapan air dan pemecah angin. Wilayah jember memiliki musim kemarau cukup yang panjang, sehingga keberadaan gumuk sangatlah penting untuk menyimpan pasokan air di wilayah jember. Apabila gumuk terus tereksplotasi maka tidak menutup kemungkinan masyarakat jember akan merasakan kekeringan parah di saat musim kemarau.

Sedangkan untuk para petani, terutama petani tembakau keberadaan gumuk juga memiliki manfaat yang begitu besar. Gumuk yang berfungsi sebagai pemecah angin, dapat memecah arah angin sehingga arahnya tidak langsung turun dan menghempas tanaman tembakau. Angin akan menabrak gumuk dan terhempas ke segala arah dengan laju yang rendah.

Lama kelamaan semakin berkurangnya jumlah gumuk di jember, akan membuat iklim wilayah tidak setabil. Perubahan iklim akan terjadi tidak tepat dengan waktunya, wilayah yang dulu rindang dan sejuk akan berubah menjadi wilayah yang panas dan gersang.

Foto Oleh Joko Cahyono


Salah satu contoh gumuk yang telah dieksploitasi secara berlebihan yaitu gumuk gunung batu. Gumuk yang terletak di jalan karimata, kabupaten jember ini telah rusak akibat penambangan. Akibat dari penambangan yang berlebihan telah membuat semua sisi gumuk tersebut rusak. Gumuk yang dulu menjulang tinggi sekarang sudah hampir rata dengan tanah, kira- kira sudah 85% dari bagian gumuk yang telah di tambang. Dapat dilihat pula keadaan ekosistem di sekitar gumuk sudah terlihat gersang, tumbuhan banyak yang rusak dan mati, struktur tanahnya pun sudah rusak.

Di sebagian sisi- sisi gumuk pun juga terlihat sampah- sampah bangunan bekas renofasi rumah yang telah dibuang. Sehingga membuat lingkungan di sekitar gumuk semakin rusak. [Joko Cahyono]


*) rawatlah bumi ini dan seisinya maka kamu akan dikasihi oleh bumi ini

Sumber: http://idesiidiot.blogspot.com/2013/08/gumuk-menangis.html

Sedikit-sedikit Capung, Sedikit-sedikit Capung, Capung kok cuman sedikit

Dahulu ketika aku masih kecil, sekecil pengetahunku tentang capung. Aku kira capung hanya hewan kecil yang tidak punya arti. Sepulang sekolah, aku bermain menangkap capung dengan wadah pastik putih. Aku kumpulkan sebanyak aku bisa, seperti kompetisi saja kala itu. Aku bersama temanku menangkap dan menagkap, tapna harus tahu buat apa nantinya jika sudah aku tangkap.


Capung Tentara (Vj Lie)


Warna-warni capung menjadikan Vj kecil begitu bersemangat menagkapnya, terkadang sampai lupa dengan makan siang. Masih aku ingat saat itu, ada capung yang sulit aku tangkap dengan tangan kosong. capung yang berwana hijau dengan sikapyang selalu waspada, seperti tentara. Ya, capung itu biasa aku sebut dengan Capung Tentara. Dia sulit untuk aku dekati namun dengan kecerdikan, aku bisa menangkapnya dengan umpan capung yang lebih kecil dari capung tentara.

Pekarangan rumah menjadi tempat favorit menagkap capung, rumput hijau dan pagar dari tanaman tetean menjadi tempat capung kecil maupun besar berkumpul. Mereka bertengger di rumput yang rendah namun terkadang dia gak sungkan untuk menclok diranting bambu yang tinggi. Nyayian (kleng dudukleng mburimu ono maling) sering aku alunkan berkali-kali saat temanku sedang berancang-ancang menagkap capung.

Sekarang baru aku mengerti, keberadaan capung sangat ada kaitannya dengan air bersih ditempat itu. Dipekarangan rumah sekarang yang sering aku lihat hanya capung Tentara dan capung memean. Saat senja aku melihat capung putih yang terbang begitu cepat, dengan terbang tanpa henti di atas Sumur. Aku sedikit tersenyum ketika anak-anak kecil tidak lagi berminat untuk menagkap capung, tapi aku juga sedih karena berkurangnya capung brarti berkurang juga air bersih ditempatku tinggal.

Perubahan yang tidak baik sedang terjadi tanpa kita sadari, capung-capung mulai menghilang ketika kita sedang asyik membangaun pondasi gedung dengan merusak pori-pori aliran air bersih didalam tanah. Ketidak tahuan membuat kita tidak menyadari jika capung ada keterkaitan erat dengan adanya air bersih. Bukan salah orang yang tidak tahu tapi salah kita yang tahu tentang itu tidak memberi pengetahuannya pada mereka yang tidak tahu. Sedikit menyisipkan tentang pentingnya capung dalam celotehan kita di Warung Kopi mungkin akan bermanfaat untuk kehidupan selanjutnya. [VJ Lie]


Sumber: http://vjlie.blogspot.com/2013/11/capung.html









Semakin Sedikit Air Bersih = Semakin Sedikit Populasi Capung

Kartunis: Afwan Bahry