Rabu, 23 Oktober 2013

Yang Ingin Disuarakan oleh #SaveGumuk

1382407128725914864
#SaveGumuk

Save Gumuk, acara yang digawangi oleh muda mudi Jember ini seperti tak ingin berhenti bergeliat. Setelah sukses menggagas acara mandiri bertajuk #SaveGumuk pada tanggal 28 September 2013 yang lalu (bertempat di Gumuk Gunung Batu - Jember), disusul kemudian dengan acara diskusi #SaveGumuk - Cangkruk Bareng Arek-Arek EXPA SMAN 1 Kalisat. Acara #SaveGumuk kedua yang digelar pada 12 Oktober 2013 ini juga dibarengi dengan pagelaran seni karya dari Sispala EXPA Kalisat.

1382408163853549299
Jember Fashion Tembakau

Ohya, sehari setelah digelar acara diskusi Save Gumuk di Kalisat, esoknya gantian kawan-kawan IMPA AKASIA Fakultas Hukum Universitas Jember menggelar acara Seminar bertajuk, Perlindungan Hak Inanimatif di Wilayah Pertambangan. Adapun biaya Pendaftaran Seminar Advokasi “Perlindungan Hak Inanimatif di Wilayah Pertambangan” tersebut sebesar 5000 rupiah dan diserahkan seluruhnya untuk kegiatan pengumpulan koin #SaveGumuk. Total dana yang diperoleh dari kegiatan IMPA AKASIA tersebut sejumlah Rp. 1.150.000,-

13824105082069887218
Seminar ‘Perlindungan Hak Inanimatif di Wilayah Pertambangan’ Pada 13 Oktober 2013

Apa Sih Acara Save Gumuk Itu?
Sebenarnya ini sudah saya jelaskan di tulisan sebelumnya berjudul Save Gumuk.
Jadi begini. Kota Jember memiliki Sumber Daya Alam bernama Gumuk. Bentuknya bisa dikatakan sama seperti gumuk-gumuk yang ada di kota lain. Namun menurut para ahli, gumuk di Jember memiliki tipe dan kandungan yang berbeda. Tapi saat ini saya tidak sedang berhasrat untuk menjlentrehkannya. Ada yang lebih penting, yaitu fungsi gumuk bagi masyarakat Jember secara luas.
Jika dilihat dari bentang alamnya, Jember ada diantara dua gunung besar, Argopuro dan Raung. Di sebelah selatan, kota ini berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Logikanya, Jember ada di zona potensi bagi terpaan angin. Jika tidak ada pemecah atau penetralisir angin, maka hal tersebut akan menjadi bahaya laten tersendiri bagi masyarakat Jember. Kabar baiknya, Jember memiliki pemecah angin alami, itulah gumuk. Bentuknya yang seperti bukit, terhampar dari utara hingga selatan, adalah keuntungan tersendiri. Saya pernah juga menuliskannya di kompasiana, berjudul; Gumuk di Jember: Pemecah Angin yang Alami.

Melihat betapa pentingnya keberadaan gumuk dari sisi ekologi, sosial, budaya, ekonomi, dan pengetahuan, mendorong muda mudi Jember menggagas acara #SaveGumuk. Ini bukan acara yang pertama, hanya melanjutkan tongkat estafet yang pernah digagas oleh generasi sebelumnya. Ya, tidak ada yang baru di bawah sinar mentari. Bagi saya, semakin banyak acara serupa, semakin bergizi.

Fungsi Gumuk Selain Sebagai Penetralisir Angin
Apakah fungsi gumuk hanya sebatas pemecah dan penetralisir angin? Tentu saja tidak. Gumuk bermanfaat untuk dijadikan zona tamasya yang murah dan terjangkau. Di sini juga hidup berbagai macam plasma nutfah sebagai penyangga ekosistem.
Kadang kita sering melupakan bahwa gumuk adalah penyimpan air dalam jumlah galon yang besar. Bisa dikatakan, gumuk adalah galon air raksasa yang siap mensejahterakan masyarakat dan lingkungannya. Sayang, yang terjadi di lapangan tidak demikian. Sudah menjadi rahasia umum jika Jember mulai bermasalah dengan air. Entah itu pencearan, entah itu kekurangan air. Aneh ya, di wilayah dimana gumuk berceceran, masih saja ada cerita seperti itu.

Yang Ingin Disuarakan Oleh #SaveGumuk
Jika dirangkum, hanya ada dua poin yang ingin disuarakan oleh #SaveGumuk.
1. Sosialisasi tentang manfaat keberadaan gumuk
2. Pengumpulan koin untuk (membeli) gumuk.
Ya, manfaat gumuk (terutama dari sisi ekologi) harus disosialisasikan pada khalayak. Jika tidak, maka yang terjadi adalah eksploitasi secara membabi buta. Sampai detik ini, kegiatan #SaveGumuk menghindari untuk menyalahkan pemilik gumuk yang mengeksploitasi gumuk miliknya hingga rata dengan tanah. Ada yang lebih diutamakan, apalagi kalau bukan sosialisasi. Bentuk sosialisasi bisa berupa pengadaan diskusi seperti yang selama ini sudah dilakukan, atau disosialisasikan secara gerilya, dari mulut ke mulut. Memang terdegar tidak efektif lagi melelahkan. Setelah dicoba, ternyata tidak juga.

Koin Untuk Gumuk
Bagaimana dengan koin untuk gumuk? Kenapa ‘membeli gumuk’ dirasa penting oleh muda mudi Jember? Sebabnya adalah karena rata-rata gumuk yang ada di Jember dimiliki oleh perseorangan. Logikanya, si pemilik gumuk memiliki hak penuh untuk melakukan apa saja pada gumuk miliknya.
Jika masih belum ada aturan yang transparan mengenai pelanggaran hak privat yang disalahgunakan secara berlebih hingga merugikan masyarakat, maka dirasa penting untuk melakukan proses ‘iuran kolektif’ untuk pembelian gumuk. Dengan harapan, muncul embrio-embrio lain yang melakukan gerakan yang sama. Atau yang lebih keren lagi, penyelenggara daerah turut aktif menggagas aturan sederhana ini. Itu akan membuat para muda yakin bahwa gumuk sudah baik-baik saja, hingga tak perlu lagi ada acara semacam #SaveGumuk :)

Setelah Berhasil Membeli Gumuk, Lalu Apa?
Ini adalah pertanyaan yang akhir-akhir ini semakin populer di kalangan kawan-kawan Jember sendiri. Setelah berhasil membeli gumuk, lalu apa? Bagaimana dengan status kepemilikan tanahnya? Apakah nantinya sertifikat tersebut atas nama rame-rame? Jika demikian, tentunya yang terdaftar dalam sertifikat bisa lebih dari 50 orang, karena pembelian tersebut dilakukan secara kolektif. Jika salah satu dari mereka meninggal dunia, maka akan menjadi sebuah kerepotan tersendiri.
Jika diwakafkan, bagaimana? Bukankah itu akan aman dari sisi ekonomi? Dalam artian, daya tawar pada tanah wakaf sudah tidak ada lagi alias nol rupiah. Namun, ketika tanah itu kita wakafkan, maka kita sudah tidak memiliki hak lagi untuk ikut campur. Apabila yang diberi kuasa untuk mengelola tanah wakaf tidak seperti yang kita harapkan, maka ini adalah masalah baru.
Bagaimana jika gumuknya dibeli dan dibuat akta pelepasannya kepada negara atau kepada pemda? Bukankah ini juga solusi? Adapun keuntungannya, biaya-biaya pemeliharaan termasuk pajak (PBB/retribusi) dan lain-lain, ditanggung oleh pemda atau negara. Sayang sekali, politik seringkali mempengaruhi kebijakan. Mungkin saja kepemilikan oleh pemerintah tsb dilakukan ruislag atau dibuat perubahan peruntukan.
Kabar baiknya, sejak semula #SaveGumuk sudah memberi garis batas akan hal ini. Saya rasa, dalam hal #SaveGumuk, netral memang jauh lebih indah.
Menyadari akan keruwetan yang akan terjadi, saya kira sudah waktunya kegiatan #SaveGumuk melirik pakar di bidang pertanahan untuk mengurusi hal ini (pemilikan tanah oleh badan hukum) secara profesional. Untuk itu, sampai detik ini, kawan-kawan Jember berkonsultasi dengan Ibu Irma Devita, seorang Notaris/PPAT yang tinggal di Jakarta.

Penutup
Dalam kegiatan #SaveGumuk, pembelian gumuk adalah poin kedua. #SaveGumuk lebih mendahulukan sosialisasi (dari berbagai sisi) karena dirasa sudah tidak ada waktu lagi untuk menunda kesadaran kritis kita akan betapa pentingnya keberadaan gumuk, dan SDA-SDA lain di sekitar kita.
Total uang ‘koin untuk gumuk’ yang ada hingga hari ini (dari penjualan kaos, donasi, dan sebagainya) adalah sejumlah Rp. 5.750.000,-. Memang masih jauh dari harga gumuk. Kami yang di Jember masih butuh banyak doa. Doakan semoga kami bisa dan tidak lelah. Terima kasih.

Salam saya, RZ Hakim

 
Diambil dari http://green.kompasiana.com/penghijauan/2013/10/22/yang-ingin-disuarakan-oleh-savegumuk-601267.html?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter

Hentikan Eksploitasi Gumuk, Selamatkan Masa Depan Jember



Ekosistem alam termasuk manusia di dalamnya harus bergerak secara seimbang. Di Jember, ekploitasi gumuk mulai bermunculan pada tahun 1990. Salah satu kandungan gumuk yaitu batu piring, dianggap memiliki nilai ekonomi yang tinggi jika dibongkar. Sebagian besar gumuk-gumuk di Jember dihancurkan demi kepentingan ekonomi segelintir orang saja. Padahal gumuk merupakan fenomena bentukan alam yang unik dan mempuyai fungsi salah satunya sebagai penahan terhadap terjadinya bencana alam.

 “Dulu kita sering mendengar bahwa Jember itu kota seribu gumuk. Jadi yang namanya julukan itu kan suatu identitas. Dan identitas itulah yang sebenarnya ingin kita rebut kembali. Dulu bisa dikatakan ada seribu lebih, sekarang sudah tinggal enam ratusan, termasuk salah satunya yang ada dibelakang kita yang kondisinya sudah terekploitasi. Sepertinya sudah hampir rata,” ujar Cak Oyong, Pendiri Sekolah Bermain.

Bagi Cak Oyong, mengembalikan gumuk yang sudah hilang itu mustahil. “Namun masih ada harapan kita dapat mengurangi aksi-aksi ekploitasi dari mereka yang berduit,” imbuhya. Memang sebagian besar gumuk-gumuk di Jember merupakan milik perorangan. Kemungkinan besar untuk mencegah munculnya ekploitasi gumuk masih bisa dilakukan dengan berbagai cara. Entah itu melalui pendekatan persuasif dengan cara menularkan wacana seputar fungsi gumuk atau yang lain.

Ir. Wahyu Giri mencurigai penyebab munculnya puting beliung yang merusak Kota Jember beberapa bulan yang lalu. “Kasus puting beliung di Kota Jember itu kan aneh, beberapa tahun yang lalu ada kejadian seperti itu. Sejak tahun 85 saya tak pernah ada cerita bahwa di Kota Jember pernah ada puting beliung,” ungkapnya. Sebelumnya tak ada catatan dalam sejarah bahwa Jember pernah dilanda puting beliung. Diduga fenomena alam semacam ini muncul karena semakin banyak gumuk yang dihancurkan. Tentu saja seiring dengan kehancuran itu maka fungsi gumuk sebagai penahan dan pemecah angin akan ikut musnah juga.

Menurut Giri, pada Tahun 2005, pernah ada diskusi yang memunculkan pembahasan serius seputar gumuk. Kala itu kesimpulan diskusi didapatan, bahwasanya tidak semua gumuk di Jember yang harus diselamatkan. Namun harus dipilah gumuk yang mana yang memang harus diselamatkan dan gumuk mana yang bisa dirubah menjadi lahan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Akan tetapi tak ada keberlanjutan nyata setelah diskusi itu selesai.

Memang jika dilihat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jember yang sekarang masih dibahas, tak ada itu gumuk yang menjadi bentang geologi unik yang harus diselamatkan. Tapi menjadi terancam semuanya untuk tambang, eksploitasi. “Semoga gumuk menjadi bentang geologi untuk yang masuk dalam RTRW,” ujar Giri.

Selain itu Giri juga mengungkapkan harapannya jika pada nantinya gumuk berhasil dilindungi dengan cara membelinya terlebih dahulu. “Kalau gumuk terbeli, mimpinya itu adalah wakaf, mohon maaf bagi yang beragama lain, tapi cuma saya mengistilahkan wakaf ini adalah menjadi kehilangan hak milik. Cuma saya yakin teman-teman yang sudah donasi tidak kehilangan hak pahala. Nantinya (gumuk yang terbeli) untuk apa, gak usah diapa-apakan saja hasilnya sudah lumayan. Tetapi bisa jadi gumuk itu menjadi wahana pendidikan, bisa juga untuk menyimpan atau mengkoleksi tanaman langka, macam-macam lah, mimpi itu bisa dibangun bersama-sama,” jelasnya. Sampai tanggal 26 Juli 2013,  dana yang berhasil dikumpulkan oleh Wahyu Giri dan para pecinta alam di Jember yang peduli pada gumuk terkumpul Rp 5.135.707.

Di sisi lain setelah tahun 2005, sumber literasi seputar gumuk-gumuk di Jember tidak berkembang. Seperti apa yang dikatakan oleh Lozz Akbar, blogger Jember, “Jika kita ketikkan kata JFC di google, maka akan temukan banyak sekali informasi. Tapi kalau kita ketikkan kata gumuk, akan kita dapatkan sedikit sekali informasi tentang gumuk. Paling akan kita temui referensi gumuk pasir di Parangtritis atau mungkin tulisan lama teman-teman pecinta alam. Padahal kalau kita pikir, sebelum Jember Fashion Carnaval itu bergema di dunia, kita sebenarnya sudah memiliki ciri khas yang tidak ada duanya di dunia,” ungkapnya.

Seiring tidak berkembangnya referensi seputar gumuk, ternyata tingkat pengetahuan warga Jember terhadap gumuk masih sangat rendah. “Kemarin kurang lebih seminggu yang lalu, saya memasang logo dari save gumuk. Kemudian banyak orang yang bertanya, apa itu gumuk? Ini orang-orang Jember sendiri ternyata masih banyak yang tidak tahu mengenai gumuk,” tutur Akbar.

Lozz Akbar juga menyayangkan penambangan batu-batu yang dikandung oleh gumuk. Dia juga berharap agar kegiatan semacam ini memberikan penyadaran kepada publik mengenai betapa pentingnya fungsi gumuk. “Tapi sayang, lambat laun gumuk dikeruk karena kepentingan seseorang. Mudah-mudahan aja acara ini saling menyadarkan ingatan kita bersama bahwasanya gumuk tidak bisa dikuasai secara individu, tapi buat bersama-sama,” ungkap Akbar.

Mengenai kegiatan itu RZ Hakim, Pemerhati Lingkungan, Vokalis Tamasya mengungkapkan rasa bangganya terhadap Pers Mahasiswa Jember atas terselenggaranya save gumuk dengan menggandeng kerja kolektif jejaringnya. “Untuk acara save gumuk motor penggeraknya kawan-kawan Persma se-Jember. Persma juga tidak menutup mata, mereka juga mengajak komunitas-komunitas yang lain. Salut buat kawan-kawan Persma se-Jember yang bisa mengajak semua komunitas, termasuk mengajak proaktif kawan-kawan pecinta alam, kesenian, dan kawan-kawan punk,” ujarnya.

Acara yang dihadiri ratusan pengunjung ini bertujuan untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga dan merawat gumuk-gumuk di Jember. Memang gumuk-gumuk di Jember sebagian besar adalah milik perorangan. Namun ketika dihancurkan yang menanggung dampaknya bukan hanya Jember tapi Indonesia. Sebab gumuk yang selama ini melindungi kita dari akan hadirnya bencana alam.[Dieqy H W]

Minim Kepedulian Pemerintah Daerah dengan Gumuk, Pemuda Jember Mengadakan Save Gumuk



Gumuk merupakan sebuah gundukan tanah yang menyerupai bukit namun volumenya lebih kecil dari gunung. Dulu Jember mendapat julukan sebagai ‘kota seribu gumuk’. Akan tetapi secara perlahan ribuan gumuk itu hilang satu-persatu. Ternyata kerusakan lingkungan tersebut menarik simpati dari para komunitas, organisasi, dan band untuk bergabung dalam kegiatan malam donasi ‘Save Gumuk’.

Save Gumuk merupakan suatu jalinan kepedulian kolektif dari berbagai macam komunitas di Jember. Kegiatan yang dimotori oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Jember atau Pers Mahasiswa (Persma) Jember ini berlangsung pada Sabtu Malam (28/9) di Gumuk Gunung Batu, Jember, Jatim. Kemudian mereka bekerjasama dengan Sekolah Bermain, Cangkruk Lewat Botol Kosong, dan Young Gun Veins untuk mengembangkan konsep save gumuk. Setelah itu perlahan komunitas-komunitas yang lain mulai berdatangan untuk membantu kegiatan bertajuk ‘Seribu Rupiah Untuk Seribu Gumuk’ tersebut.

Menurut Nurmaida, Ketua Pelaksana Kegiatan Save Gumuk, “Acara ini sebenarnya sederhana. Kami tak berpikir muluk-muluk untuk membeli gumuk. Tapi acara ini adalah langkah awal kita untuk mempersatukan antara UKM, LPM, komunitas se-Jember, dan semua lapisan masyarakat untuk sama sama menjaga kelestarian gumuk,” jelasnya. Ia juga menambahkan Semoga setelah adanya acara ini, banyak mahasiswa dari beragam fakultas maupun universitas yang melakukan penelitian terhadap gumuk.

Dalam sambutannya, Nurul Priyantari, S.Si, M.Si, Pembantu Dekan III Fakultas MIPA Universitas Jember (UJ), sangat menghargai kegiatan semacam ini, “Di tengah berita yang semakin marak tentang kenakalan remaja, di sini kita bisa sangat terhibur dengan kepedulian kalian terhadap alam. Sebagai generasi muda tentunya harus punya kepedulian terhadap alam. Saya sangat mengapresiasi sekali acara ini,” ujarnya. Nurul juga menambahkan harapannya agar acara semacam ini ditindaklanjuti dengan kegiatan lain yang lebih serius.

Gumuk Gunung Batu merupakan salah satu gumuk di Jember yang kondisinya memprihatinkan. Gumuk tersebut sudah tinggal separuh, sedangkan bagian yang lainnya sudah habis dieksploitasi. Dalam kegiatan save gumuk, pemandangan alam yang setengah rusak tersebut dijadikan sebagai background panggung. Selain itu gumuk dihiasi dengan banyak obor dan para pengunjung yang datang diharuskan melalui rute yang disediakan oleh panitia, yaitu melewati gumuk terlebih dahulu sebelum menuju lokasi kegiatan.

Beberapa personil band indie Jember yang hadir dan ikut mengisi acara save gumuk mengungkapkan keluh kesahnya terkait kondisi lingkungan alamnya. “Kita tahu kondisi gumuk di Jember salah satunya seperti yang ada di belakang kita saat ini. Acara ini setidaknya membuat kita sadar bahwa ada hal yang sangat kritis,” ungkap Dion, Vokalis Black Dog. Hal serupa juga diungkapkan oleh Alex Gunawan, Vokalis The Penkors, “Sangat besar peran gumuk bagi masyarakat, dan sangat masuk akal sekali jika kita harus menjaga keberadaan gumuk agar jumlahnya tidak semakin berkurang. Tetap pelihara gumuk yang tersisa. Semoga lebih banyak lagi yang mencintai gumuk-gumuk yang masih tersisa,” ujarnya.

Acara save gumuk ini berisi Acoustic Band Performance, Pembacaan Puisi, Pertunjukkan Tari Kedok Putih, Cangkruk’an, Pengumpulan Koin Untuk Gumuk, Pengumpulan Botol Kosong, Aksi Tanda Tangan Solidaritas Save Gumuk, dan Live Art Performing. Accoustic Band Performance diisi oleh penampilan band indie Jember beberapa di antaranya yaitu, The Penkors, Black Dog, From This Accident, Pispot, Gudang Production, dan Tamasya.

Sedangkan pembacaan puisi oleh dua penyair muda Jember yaitu Halim Bahriz dan Abdul Gani, menjadi suatu momentum perenungan. Oleh karena itu pembacaan puisi berniat mengajak para pengunjung merenungkan seputar hasrat manusia untuk merusak ekosistem alam. “Takdir harus dirumuskan, Di sana kita lahir dan menemukan diri sebagai manusia,” sepenggal syair yang dibacakan oleh Abdul Ghani. Kemudian Tari Kedok Putih dipersembahkan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Kurusetra, Fakultas Ekonomi, UJ.

Live art performing merupakan penampilan para pegiat street art Jember di lokasi kegiatan. Dengan bermodalkan cat semprot, para seniman muda tersebut menunjukkan kebolehannya dalam menorehkan cat di atas vynil. Diantaranya Fiky Old Skull Hart Kore (OSHK),  Dullboy OHSK,  Asgar Fucking My Name (FMN), Mubin Tuban Rest, Nizar Everything of Art (EVA), Jejaring para artis street art lokal Jember tersebut bergabung dan menggambar bersama di lokasi kegiatan. 

Selain itu ada rangkaian acara pengumpulan koin untuk gumuk yang menjadi inti acara save gumuk. Inisasi pengumpulan donasi untuk membeli gumuk ini sudah ada sejak lama oleh beberapa orang pecinta alam di Jember. Mereka berkeinginan untuk merubah status gumuk sebagai kepemilikan pribadi menjadi milik bersama. Oleh karena itu kami berniat mendukung rencana membeli gumuk dengan cara mengumpulkan donasi.

Sebelum kegiatan ini berlangsung, panitia sudah menyebar kotak donasi di beberapa titik. Teknis dan penjagaan kotak donasi dibantu jejaring organisasi maupun komunitas di Jember. Kemudian ketika acara berlangsung, kotak-kotak donasi tersebut dikumpulkan untuk kemudian dijumlah hasil donasinya. Berdasarkan hasil hitungan sementara di akhir acara, Rp 3.085.050 hasil donasi yang berhasil dihimpun dari kotak donasi dan penjualan kaos #SaveGumuk. [Dieqy Hasbi Widhana]

Selasa, 01 Oktober 2013

Pada Mulanya Adalah Air

Bagaimana cara air mempengaruhi lingkungan masyarakatnya?

Sebermula masa, peradaban manusia adalah peradaban air. Manusia selalu membangun kebudayaan dekat dengan sumber air. Hal ini karena air menjadi salah satu sumber inspirasi, kebutuhan dan juga pusat kehidupan masyarakat lampau. Air memberikan kemampuan manusia untuk hidup, berpikir, dan berkembang. Dalam banyak hal air juga menjadi simbol kemurnian, kesucian dan pengetahuan.

Barangkali benar tanpa air tak akan pernah ada peradaban.
Kita mengenal peradaban Eufrat-Tigris di Mesopotamia, Nil di Mesir, dan peradaban Sungai Kuning di Tiongkok yang sangat megah dibangun berdekatan dengan sumber air. Selain memberikan kemakmuran dalam hal pertanian, sungai-sungai tersebut juga menjadi akses transportasi yang membuka pintu perdagangan. Banyaknya air bersih juga menjadi sebuah indikator kemakmuran. Sehingga mereka bisa menikmati kehidupan yang sehat dan terhindar dari penyakit.
Hampir di setiap situs peninggalan peradaban besar tadi ditemukan relief atau gambar pada kendi air yang menggambarkan kemakmuran bangsanya. Kendi-kendi tersebut bisa berarti banyak hal apakah sebagai tempat menyimpan harta, minyak atau air minum. Namun yang jelas di berbagai relief yang ada kendi menjadi salah satu simbol kehidupan yang memancarkan air. Kita lantas mengenal simbol ini sebagai lambang bintang Aquarius.

Air selayaknya mudah didapatkan. Ia selalu terganti melalui siklus hujan. Dahulu orang tua kita bercerita bahwa kita dapat minum air langsung dari sumur atau sumber tanpa takut akan sakit. Kemurnian terjaga karena lingkungan masih tak tercemar limbah dan kotoran yang berpotensi menyebabkan penyakit. Sumur yang selalu penuh dan bersih ketika musim kemarau, sungai yang jernih dan segar barangkali hanya sebuah melankolia masa lalu yang degil.

Air kini tak bisa lagi menjadi karib yang selalu ada.
Penggal syair Gesang dalam Bengawan Solo yang berbunyi "Air mengalir sampai jauh," kini sudah tak lagi relevan. Di banyak tempat sumber air minum telah dikuasai oleh sekelompok orang atau korporasi. Kebutuhan sumber air minum yang tak akan pernah habis sampai akhir masa membuat beberapa orang merasa perlu melakukan monopoli. Melakukan pengekangan terhadap distribusi air sehingga hanya kepada mereka yang memiliki uang saja yang berhak menikmati.
Di Desa Kwarasan, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, pada 2009 lalu sempat bersitegang dengan sebuah pabrik setempat karena matinya sumber air yang menjadi penghidupan. Pabrik tersebut memproduksi air minum kemasan dalam jumlah masif yang membuat sumber air minum yang juga sarana irigasi menjadi berkurang secara signifikan. Hasilnya adalah beberapa kawasan lumbung padi di Klaten mengalami gagal panen, belum lagi sulitnya pemenuhan sumber air minum yang bersih.
Masalah yang dialami masyarakat Klaten juga dialami oleh masyarakat yang mendiami Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Mereka menuntut penghentian proyek pembangunan sebuah hotel lantaran di wilayah tersebut terdapat mata air Umbul Gemulo yang mengairi dan menjadi sumber kehidupan empat desa sekitar.  Mereka khawatir dengan pembangunan hotel tersebut distribusi dan pasokan air minum di daerah mereka akan terhambat atau bahkan terhenti sama sekali. Permasalahan ini bisa menjadi sangat riskan dan berpotensi konflik jika tak segera dituntaskan.

Sementara di kota Bandung, Jawa Barat melalui riset intensif yang dilakukan Zaky Yamani. Ditemukan banyak fakta yang mengerikan tentang monopoli air minum di kota Kembang itu. Dalam buku yang berjudul "Kehausan di Ladang Air; Pencurian Air di Kota Bandung dan Hak Warga yang Terabaikan", Zaky mengungkap bagaimana warga kota itu dirampok secara tersembunyi sehingga mesti membeli air yang merupakan haknya.

Lantas bagaimana semestinya kita memaknai air sebagai sebuah kebutuhan?

Melalui liputan yang memukai itu Zaky menawarkan perspektif yang barangkali sering kita lakukan namun jarang kita sadari keberadaannya. Ia menjelaskan bagaimana di sudut-sudut kumuh kota Bandung masyarakat harus mengantri aliran air setiap hari. Bahkan untuk memasak mereka terpaksa membeli air dalam kemasan yang menambah beban hidup. Belum lagi bagaimana PDAM yang semestinya menjadi garda depan pemenuh kebutuhan seringkali tak bisa bekerja maksimal memberikan air minum yang layak.
Menikmati air, khususnya air minum merupakan hak asasi manusia. Hal ini telah diratifikasi dalam banyak konsensus dunia. Salah satunya dari Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB yang pada tahun 2002 merilis komentar umum tentang Hak Atas Air. Di dalamnya dinyatakan bahwa setiap manusia berhakmendapatkan air bersih yang cukup, aman dikonsumsi, dan terjangkau secara fisik serta finansial untuk penggunaan pribadi dan rumah tangga. 
Komentar Umum yang tertuang dalam Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB tersebut menetapkan beberapa hal atas hak air bersih. Seperti setiap orang harus mempunyai akses atas air yang mencukupi.  Seperti suplai sebanyak 50 – 100 liter dan atau  minimal 20 liter per orang per hari. Selain itu kualitas air harus terjamin sehat dan aman. Air yang digunakan untuk keperluan rumah tangga juga harus aman dan layak dikonsumsi.
Di Indonesia teknologi yang mengubah air biasa menjadi air yang layak konsumsi masih jarang. Jangankan teknologi itu bahkan Perusahaan Daerah Air Minum yang ada pengelolaanya kadang dilakukan oleh swasta. Sehingga yang terjadi adalah monopoli dan kegagalan pemerataan konsumsi air. Dalam salah satu laporan yang disusun Andreas Harsono pada 2003, digambarkan bagaimana konsumsi air di Jakarta dikuasai oleh dua korporasi air dunia.

Tak banyak yang bisa dilakukan untuk memperoleh jaminan atas hak kita mendapatkan air minum yang sehat. Untuk itu perlu tindakan yang taktis dan efektif dalam upaya pemenuhan hak atas air. Pertama melakukan pemetaan wilayah atas sumber air yang ada. Karena dalam UU SDA Pasal 6 disebutkan "Penguasaan sumber daya air untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," sehingga setelah usai pemetaan kita bisa melakukan proteksi dan perlindungan atasnya berdasar peraturan tersebut.

Langkah kedua adalah melakukan perbaikan kualitas air minum dengan menjaga lingkungan sekitar.  Seperti menjauhkan sumber air dari pencemaran, melakukan pembersihan lingkungan dan penanaman vegetasi yang mampu menjaga dan memperbaiki kualitas air. Pencemaran limbah industri maupun rumah tangga berpotensi mencemari air yang bisa menurunkan kualitas air. Hal ini tentu saja dapat berimbas pada air konsumsi yang kita gunakan. Bukan tidak mungkin air yang tak sehat itu dapat menyebabkan penyakit atau bahkan bisa meracuni kita.

Langkah terakhir adalah melakukan evaluasi dan pengawasan secara khusus dan terpadu terhadap kawasan yang berkaitan dengan air. Seperti daerah aliran sungai, daerah hulu air, dan bukit atau gumuk yang menjadi bank resapan air. Untuk hal ini masyarakat tak bisa bertindak sendiri. Kita perlu campur tangan dari pemerintah dan segala elemen yang terkait di dalamnya seperti PTPN, dinas kehutanan dan BKSDA. Sehingga pendekatan holistik dapat meningkatkan kemungkinan selamat air lebih baik lagi.
Setelah memahami hal ini ada baiknya kita kembali berpikir. Sumber kehidupan  pada akhirnya hanya akan habis ketika kita tak memiliki kesadaran untuk melakukan konservasi secara serius. Belum lagi permasalahan perusakan alam yang kian hari kian parah. Kualitas air minum kita semakin lama semakin merosot. Penggunaan bahan kimia bukanlah pilihan. Ia hanya menunda akhir yang sudah pasti. Barangkali benar kata kata sejarawan dan pemikir Inggris, Thomas Fuller, "We never know the worth of water till the well is dry. ” [Armand Dhani Bustomi]

Jalinan Solidaritas Save Gumuk Berencana Beli Gumuk

Gumuk sudah seharusnya mulai diperhatikan khususnya oleh masyarakat Jember. Sebuah gundukan kecil mirip gunung dengan kandungan bahan galian C ini, tergolong bentukan fenomena alam yang sangat langka dan cenderung unik. Sayangnya pemanfaatan lahan gumuk dalam bentuk eksploitasi lingkungan terjadi sejak sekitar tahun 1990. Semakin lama jumlah gumuk berkurang, dari sekitar 1500, kini hanya tersisa 600 gumuk, seperti yang terungkap dari acara #SaveGumuk (28/09) yang diadakan sebuah gumuk yang dieksploitasi di kompleks perumahan Gunung Batu Jember, jl. Karimata Jember. 

Menurut Dian Teguh Wahyu Hidayat, yang mewakili puluhan organisasi, lembaga, komunitas dan individu yang tergabung dalam gerakan #SaveGumuk ini menjelaskan bahwa predikat langka gumuk lebih karena pembentukan tekstur gumuk di wilayah Jember yang diyakini berasal dari letusan masif gunung Raung. Aliran lava dan material vulkanik membentuk lapisan dan mengendap selama ribuan tahun yang akhirnya membentuk ribuan gumuk yang tersebar di Kabupaten Jember. “Jika melihat identifikasi tipografi, ternyata di seluruh dunia ini, gumuk hanya ada di tiga tempat, di Indonesia dan Jepang. Sementara di Indonesia ada dua tempat, di Tasikmalaya dan Jember. Berbeda dengan Jember, ada beberapa sumber yang menyatakan keberadaan gumuk di Tasikmalaya sudah sulit ditemukan, karena eksploitasi yang berlebih di sana,” jelas Teguh.

Selain itu gumuk memiliki fungsi penopang ekosistem dan iklim yang khas sehingga membentuk ekosistem pertanian di Kabupaten Jember. “Fungsi gumuk di Jember ini turut berperan membentuk iklim yang khas di Jember. Iklim ini sangat berpengaruh terhadap hasil pertanian masyarakat Jember. Tak heran jika Jember pernah dianggap sebagai lumbung pangan nasional oleh Nawiyanto, Sejarawan Jember,” jelas Teguh.

Kepedulian terhadap gumuk kian lama makin pudar. Serentetan persoalan-persoalan terkait gumuk datang dari berbagai macam hal. Mulai kesadaran masyarakat, kebijakan pemerintah, sampai pada status gumuk sebagai milik privat yang akhirnya juga mengarah pada permasalahan ekonomi pemilik gumuk. Sehingga sampai sekarang penambangan gumuk terus berlangsung dan tidak ada yang mampu mencegahnya. “Hal yang perlu diperhatikan adalah keberadaan gumuk-gumuk di Jember adalah milik perseorangan. Jika terjadi ekspolitasi maka seluruh masyarakat Jember akan menanggung dampaknya. Maka dari itu ada upaya dari gerakan #SaveGumuk ini untuk berperan aktif memikirkan masa depan gumuk di Kabupaten Jember ini,” Jelasnya lagi.

Inisiatif jalinan solidaritas ini memilih nama #SaveGumuk sebagai ikon kegiatan. merupakan suatu jalinan kepedulian kolektif dari berbagai macam komunitas di Jember. #SaveGumuk merupakan rangkaian kegiatan antara lain, Accoustic Performance. menampilkan The Penkors, From This Accident, Tamasya, Pispot, Gudang Production. Juga Pembacaan puisi serta cangkruk’an dan pengumpulan koin untuk gumuk. ini merupakan inisiatif pengumpulan donasi untuk membeli gumuk untuk dilestarikan ini sudah ada sejak lama didengungkan oleh aktivis lingkungan dan Pecinta Alam di Jember. Selain itu juga diadakan penjualan kaos #SaveGumuk, pengumpulan botol kosong, serta petisi solidaritas #SaveGumuk yang dilakukan puluhan undangan yang memenuhi lokasi acara #SaveGumuk. Teguh juga menyampaikan publik bisa memantau aktivitas #SaveGumuk lewat akun twitter @persma_jember dengan hastag #SaveGumuk. (ias)

terimakasih kepada semua pihak yang mendukung seperti :
Perhimpunan Pers Mahasiswa (PPMI) Kota Jember, Cangkruk Lewat Botol Kosong (CLBK), Keluarga Tamasya, Young Gun Veins (YGV), Sekolah Bermain, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pertanian Plantarum, LPM Sastra Ideas, LPM Manifest, LPM Mipa Alpha, LPM UMJ Aktualita, Unit Pers Mahasiswa (UPM) STAIN Millenium, LPM Fisip Prima, LPM Ekonomi Ecpose, Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM) Tegalboto, LPM Poltek Explant, Media Online titik0km.com, UKM Seni Kurusetra, Akademi Berbagi (Akber) Jember, Rumah Baca Tikungan Jember, UKM Dewan Kesenian Kampus (DKK), Vandal Jepit, Komunitas Pecinta Seni (Kompeni) Jember, @mahasiswajember, Kedai Gubug, Macapat Cafe, Warung Kopi Cak Wang, @InfoJember @jember0km

#SaveGumuk

Sumber: http://www.titik0km.com/jalinan-solidaritas-save-gumuk-berencana-beli-gumuk.html