Selasa, 24 September 2013

Gumuk di Belakang Rumah Kami

Saya dan apikecil tinggal di sebuah wilayah yang disepakati bernama Jember. Dan tepat di belakang rumah kami ada jalur rel kereta api. Dibangun pada akhir abad 19 (1897) dengan maksud menjadi sarana penghubung antara Jember - Panarukan. Tadinya kendaraan 'ular besi' ini tidak ditujukan untuk melayani manusia (seperti sekarang ini), melainkan untuk memperlancar pengiriman hasil perkebunan, menuju pelabuhan Panarukan. Sesampai di Panarukan, hasil kebun tersebut dikirimkan ke pasar Eropa.

Karena ada udang di balik batu, pihak Pemerintah Kerajaan Belanda sama sekali tidak merasa rugi menanggung seluruh biaya pembangunan jalur kereta api tersebut. Hmmm.. Penjajahan sejak dulu hingga sekarang, model dan gayanya sama saja ya, hanya beda pada jaman dan kemasan.

Eits, saya tidak sedang ingin berbagi kisah tentang 'sepur' ding, maaf.


Gumuk di Belakang Rumah Kami - Dipotret dengan kamera HP 2 MP, 20 September 2013

Jadi begini. Di belakang rumah kami ada rel kereta api. Di seberangnya lagi, kira-kira berjarak 50 meter, ada sebuah bukit kecil dengan kelas ketinggian sangat rendah, yaitu kurang dari 10 meter. Nah, ini dia yang ingin saya ceritakan. Tentang bukit kecil. Orang-orang Jawa biasa menyebutnya Gumuk, beda tipis dengan istilah Madura, Gumok.

Cerita Tentang Gumuk Tak Bernama

Saya memang pelupa dalam banyak hal, tapi bagaimana saya bisa melupakan kenangan masa kecil? Memiliki dua rumah masa kecil (di Patrang dan di Kampung Kreongan, rumah Mbah) bukan berarti saya bisa begitu saja menghempaskan serpih-serpih kenangan saat bocah, saat mengendap-endap merayapi gumuk belakang rumah Patrang.

Gundukan itu tidak bernama. Bapak dan Ibu saya hanya menyebutnya gumuk, titik. Para tetangga juga begitu. Keluarga Pak Saimin, keluarga Suhud, Keluarga Soetardji, Pak Mukri, Lek Bakir, Keluarga Haji Soleh, Haji Linda, semua menyebutnya gumuk saja. Benar-benar tanpa nama, sebab mungkin itu dirasa tidak terlalu penting.

Hampir semua orang mengerti jika di atas gumuk tersebut ada kuburannya. Kabarnya, itu adalah kuburannya para sesepuh wilayah Patrang Tengah. Nisannya tak bernama, tak bertanggal, tak meninggalkan tanda apapun. Pantaslah jika pohon-pohon di gumuk ini lebat, apalagi di musim hujan. Tak ada yang berani menebang pohon, mungkin takut malati.

Di gumuk tak bernama itu pula, ada terdapat sebuah mata air (kolam) dengan ceruk alami yang kecil. Mungkin hanya seluas dua kali bak kamar mandi umum. Ikan yang hidup di sana hanyalah ikan klemar dan ikan kepala timah. Dulu di sini, diantara celah-celah batu piring dan batu padas, di dekat lekukan kolam, saya pernah melihat 'live' seekor ular sawah yang kulitnya didominasi oleh warna coklat tua. Diameternya kurang lebih seukuran botol air mineral 600 ml. Memang, saya tidak sangat detail memandangnya, sebab tak butuh waktu lama bagi seorang RZ Hakim kecil untuk membuat keputusan lari sekencang-kencangnya. Tapi, itu adalah pertama kalinya saya menjumpai seekor ular besar di alam bebas. Mungkin nilah alasan kenapa saya tetap bisa mengingatnya hingga sekarang.

Sayangnya saya tidak bisa mengingat tahun berapakah itu. Tapi samar-samar saya masih mengingat, waktu itu orang-orang dewasa sedang senang-senangnya membicarakan dua hal. Pertama tentang SDSB, yang kedua tentang Penembakan Misterius alias Petrus.

Kabar baiknya, sampai hari ini gumuk tak bernama itu masih ada. Dan di balik kabar baik, tentunya ada kabar kurang baiknya juga. Gumuk itu sekarang gersang. Mata airnya hanya tinggal cerita. Meskipun kuburannya tampak terawat, namun pohonnya tinggal sedikit. Dari yang sedikit itu, didominasi oleh tanaman invansif, Mahoni.

Ketika saya mencoba naik ke atas gumuk, pemandangannya sudah tak sama lagi. Dulu saya bisa dengan mudah memandang hamparan sawah, pertigaan Perumnas Patrang, dan segala hal yang menyenangkan yang bisa saya lihat. Percayalah, Gunung Raung tampak semakin terlihat cantik jika dipandang dari atas gumuk ini.

Benar, Gunung Raung terlihat cantik dari sini. Konon, teori terkuat akan asal usul keberadaan gumuk-gumuk di Jember adalah karena akibat letusan Gunung Raung. Letusan itu mengalirkan lava dan lahar. Aliran ini kemudian tertutup oleh bahan vulkanik yang lebih muda sampai ketebalan puluhan meter (dari Raung Purba). Kemudian terjadi erosi pada bagian-bagian yang lunak yang terdiri atas sedimen vulkanik lepas-lepas selama kurang lebih 2000 tahun. Dari sanalah tercipta topografi gumuk seperti yang ada sekarang ini.

Itu teori dari Verbeek dan Vennema. Keduanya adalah para Geolog yang (jika di Indonesia) namanya sejajar dengan Geolog seperti Junghuhn dan van Bemmelen. Bagi yang tertarik, bisa mencari bukunya Verbeek dan Vennema yang berjudul, Geologische Beschrijving van Java en Madoera (1896). Kalau nemu, pinjam ya, hehe..

Teori yang lain dan yang tak kalah populer, gumuk berasal dari material lontaran (dari atas ke bawah) yang diakibatkan oleh letusan Gunung, dan itu adalah Gunung Raung. Sayangnya basic saya sastra, jadi untuk menjelaskan poin ini saya memiliki keterbatasan pengetahuan dan istilah geologi. Maaf..

Itulah yang membedakan antara gumuk dan bukit, atau gumuk dan gundukan tanah (atau pasir). Meskipun dimana-mana (di Pulau Jawa) banyak orang menyebut bukit dengan istilah gumuk, tapi kandungannya berbeda dengan gumuk yang ada di Jember. Jika membaca tabloid IDEAS Edisi XV tahun 2005, dapat kita ketahui bahwa hanya ada dua wilayah di Indonesia yang mempunyai bentang alam berupa gumuk, yaitu di Jember dan Tasikmalaya (Ir. Sutrisno M.S, Dosen Jurusan Ilmu Tanah Fak. Pertanian UJ).

Tempat lain yang juga memiliki kekayaan alam berupa gumuk adalah di wilayah sekitar Gunung api Bandai San Jepang (terjadinya karena erupsi ultra-volcanic, sumber dari sini).

Dengan segala keunikannya, maka hemat saya gumuk bukan hanya milik warga Jember semata, melainkan kekayaan SDA milik Indonesia. Berhubung ada di Jember maka kita wajib menjaganya, untuk Indonesia dan dunia.

Bukan hanya Gunung Raung, dulu saya bahkan bisa menatap dapur dan sumur rumah saya sendiri. Jika tidak beruntung, Ibu bisa melihat putranya naik-naik ke puncak gumuk. Bisa dipastikan, tak lama kemudian beliau akan memanggil-manggil nama saya. Artinya, waktu bermain saya habis. Bagi saya, kurangnya jatah bermain sama dengan menyebalkan.

Hai haiii.. Saya hampir melupakan satu hal yang teramat penting. Gunung Argopuro. Ya, Argopuro dan puncak Rengganisnya yang manis, jika kau tatap dari gumuk tak bernama ini, aahh... Tetap sederhana tapi menakjubkan. Dan itu gratis kawan. Untuk memandang Argopuro, kau tidak harus mengeluarkan uang seperti ketika membeli air mineral milik nenek moyangmu sendiri namun dikemas oleh investor asing. Tataplah keindahan itu sepuas-puasnya, sebelum dia 'dihancurkan' oleh sang pemuja uang.

Istri saya dalam pelukan Argopuro, nun di kejauhan sana

Sial benar nasib gumuk ini. Meskipun dia tak terjual (mungkin belum) ke tangan investor, tapi keberadaannya kini tersudutkan oleh Perumahan Pesona Regency Patrang, yang dikelola oleh PT. MANDIRI RAYA UTAMA. Sekarang sisi kanan gumuk sudah di pres. Katanya untuk pelebaran jalan, demi kepentingan bersama. Nyatanya, pengepresan itu hanya membuat hilangnya humus tanah di tepian gumuk. Ya, meskipun tak seberapa tinggi, sayang sekali jika tepian gumuk ini rusak. Bagaimanapun, longsor (kecil-kecilan) dan penggerusan alami hanya tinggal masalah waktu.

Apa sulitnya membangun perumahan yang ramah lingkungan?

Sisi Gumuk yang dipres, dan Perumahan Modern

Tetaplah Menjulang dan Jangan Hilang

Belajar dari gumuk di belakang rumah kami, saya jadi sangat percaya jika gumuk memiliki peran alam yang cukup penting. Gumuk berperan sebagai penyangga aktivitas ekosistem dan penyedia kekayaan hayati. Dialah 'bank data' gratis yang disediakan oleh Sang pencipta.

Ketika vegetasi di dalam gumuk masih beraneka ragam, maka sangat memungkinkan bagi gumuk untuk melakoni peran sebagai penyimpan air yang bagus. Efek ikutannya, kesuburan tanah terjaga. Pemilik gumuk tak perlu repot-repot 'pasang badan' pada jeratan iklan pupuk kimia.

Ah, padahal gumuk di belakang rumah kami hanyalah gumuk yang berkelas ketinggian sangat rendah sekali. Ternyata sangat penting. Setidaknya dia pernah menjaga saya dari dahsyatnya angin yang turun dari Argopuro dan Raung. Ia menghambat arah angin yang semula lurus dan keras, hingga akhirnya kecepatan angin pun menurun. Bolehlah saya bilang jika gumuk bisa dengan alami menstabilkan gerak angin. Melihat pemetaan wilayahnya, warga Jember sangat butuh gumuk. Jangan ada lagi pemikiran 'yang penting ada gumuk' sebab lebih indah jika kita berpikir bahwa gumuk itu penting.

Masalahnya, banyak pihak tergoda untuk menggali batuan gumuk. Melihat batu piringnya yang memiliki kerlip warna alami, adanya daya tawar, dan siapa yang tak tergoda untuk mengeksekusi nilai ekonomisnya? Padahal isi dari perut gumuk tak hanya batu piring saja. Masih ada yang lain seperti batu koral, batu pedang, padas, batu pondasi, pasir, dan entahlah.. Semua yang menggiurkan itu takkan pernah bisa membungkam keserakahan manusia. Rata-rata dari kita sudah tak lagi ingat sebuah kalimat sakti, "Memanfaatkan SDA sesuai dengan kebutuhan, bukan keserakahan!"

Dari sisi ekonomis menggiurkan, dari sisi ekologis menghancurkan. Kita semua tahu itu. Mungkin kita juga sudah paham jika gumuk terus menerus digerus, suatu hari masyarakat akan menanggung biaya sosial dari semua ini. Kesadaran lingkungan itu memang pilihan. Keputusan sepenuhnya ada di tangan kita. Tapi jika kita memilih untuk meremehkannya, maka bencana adalah sebuah kepastian.

Gumuk, tetaplah menjulang dan jangan hilang..

Sebagai penutup, ada sebuah persembahan sederhana dari Tamasya Band. Sebuah lagu berjudul GMK alias GUMUK.

GMK By Tamasya Band

Bertebaran seperti gunung-gunung tinggi
Namun itu hanya gunung kecil
berjajar-jajar ibaratnya bukit
Namun itu hanya bukit kecil

Seperti biasa tapi tak biasa
Sungguh luar biasa
Cuma ada tiga di dunia

Dimanakah wajah kotaku yang dulu indah
Tergantikan tuntutan jaman
Tak bisakah kita menunjukkan rasa cinta
Menyisakan satu gumuk saja

Istimewa tapi dianggap biasa saja
Itulah GUMUK.. Bukit-bukit kecil



Sedikit Tambahan

Ketika tak ada lagi burung trucuk, capung, kunang-kunang, dan apapun yang mau singgah di Gumuk belakang rumah kami seperti dulu, seharusnya saya sudah tahu jika mata air di atas gumuk itu telah punah. Pada kenyataannya, saya baru menyadarinya tadi pagi, ketika mendaki gumuk di belakang rumah.

Ketika air sumur di rumah saya tak lagi sejernih dulu, tiba-tiba saya merindukan masa kecil. Saat dimana saya bebas berlari dan belajar mengendalikan rasa takut pada nisan-nisan kuburan, juga pekatnya pepohonan di gumuk.

Ketika setengah tahun yang lalu Jember (wilayah kota) diterjang puting beliung dan memakan korban, tiba-tiba banyak yang menanyakan keberadaan gumuk. Begitu juga ketika harga tembakau (dan hasil perkebunan lainnya) anjlok, tiba-tiba banyak warga Jember yang rindu memandang gumuk.

Ketika.. Sudah ah. Terima kasih dan Salam Lestari! 




Sumber:  www.acacicu.com/2013/09/gumuk-di-belakang-rumah-kami.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar