Sabtu, 21 Desember 2013

Ngamen Kartun Siluet #SaveGumuk

Minggu pagi (22/12) Save Gumuk Community gelar 'Ngamen Kartun Siluet' di Alun-alun Jember. Kegiatan yang ini sengaja dilakukan guna mensosialisasikan betapa pentingnya fungsi gumuk. 

Sembari menunggu gambar siluetnya jadi, para donatur mendapatkan sekilas penjelasan seputar gumuk. Setelah itu masing-masing donatur bisa menyumbangkan minimal lima ribu rupiah tiap kartun siluet. 100% yang diserahkan dari donatur disumbangkan untuk membeli gumuk. Mereka bisa mendownload file kartun siluet di blog ini. 

Berikut kartun siluet beberapa donatur yang empati terhadap kondisi gumuk-gumuk di Jember yang terus tereksploitasi. Klik pada gambar untuk mendapatkan file kualitas tinggi.











Kartun siluet di atas merupakan hasil kerja keras kartunis Jember Afwan Barry

Senin, 04 November 2013

Gumuk dan Capung

Sebentar-sebentar, orang-orang berkata jika serangga bangsa Odonata bernama capung ini adalah indikator air bersih. Maksudnya apa? Hmmm.. Konon, di dalam tubuh capung ada terdapat seperangkat penciuman dan daya deteksi zat berbahaya. Jadi, capung akan menjauhi kualitas air yang mengandung limbah.

Lalu apa hubungan antara capung dan gumuk? Nah, untuk menjawab ini, kita butuh memahami sebuah gerakan yang dilancarkan oleh muda mudi Jember, apalagi kalau bukan Save Gumuk.

 
Save Gumuk

Jember adalah sebuah Kabupaten di Jawa Timur yang diapit oleh dua gunung besar, Raung dan Argopuro. Sementara di sisi selatan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Kota ini pernah dijuluki sebagai Kota Seibu Gumuk. Namun, Kemajuan jaman membawa implikasi pada dieksploitasinya gumuk-gumuk di Jember. Sepertinya banyak yang lupa jika gumuk memiliki dua fungsi vital diantara fungsi-fungsi yang lain.

1. Sebagai penetralisir angin
2. Sebagai galon air raksasa.

Oleh karena kesadaran kritis tersebut, hadirlah gagasan Save Gumuk versi para muda. Acara yang digawangi oleh kawan-kawan Persma Jember ini ingin mencapai dua poin inti.

1. Sosialisasi tentang fungsi dan peranan gumuk di Jember
2. Ingin membeli gumuk secara kolektif.

Adapun yang diutamakan dalam kegiatan tersebut adalah proses sosialisasi tentang fungsi dan peranan gumuk. Tentang rencana pembelian gumuk secara kolektif, diharapkan tidak melemahkan tujuan pertama melainkan sebaliknya, yaitu menguatkan. Dengan begitu, semua sama-sama belajar tentang bagaimana caranya berproses dan menghargai proses.

 
Gumuk dan Capung

 Gumuk dan capung, keduanya sama-sama terkait erat dengan sumber kehidupan bernama air. Gumuk sebagai galon air alami, sedangkan capung adalah pendeteksi alami keberadaan air bersih. Semakin banyak capung, semakin tinggi indikasi adanya air (mata air) bersih. Itulah sebabnya capung disebut sebagai indikator air.

Ketika kita bisa mempelajari dunia capung, diharapkan bukan hanya gumuk yang mendapat efek positifnya, tapi juga yang lain, seperti misalnya sungai bedadung. Setidaknya, kita jadi bisa memprediksi kualitas air di sekitar rumah kita sendiri.

Penggunaan parameter fisik dan kimia dalam hal mendeteksi pencemaran air hanya akan efektif apabila telah terjadi kerusakan lingkungan yang parah. Kenapa kita tidak mempercayakan pada capung untuk melakukan pemantauan kualitas air?  [VJ Lie]


Naturalia non sunt turpia. Segala hal yang alami tidak memalukan.

Sumber:  http://pungca.blogspot.com/2013/10/gumuk-dan-capung.html

Setapak Lagi Untuk Save Gumuk

Terbayang sebuah acara yang tidak kalah dengan suasana Save Gumuk pertama di gumuk Gunung Batu Sumbersari. Acara ini penuh dengan misteri. Mas RZ. Hakim tidak mau memberi penjelasan lebih utuh, dia hanya memberikan sedikit clue, “Ada temen-temen dari Kalisat membuat acara diskusi gumuk. Acaranya juga pake obor. Persis seperti acara kita kemarin.”

Tidak hanya itu, rute perjalanan kami ke tempat acara pun tidak dijelaskan. Kembali lagi dia memberikan clue, “Nanti kita dijemput di depan RSUD Kalisat,” katanya lagi. Entahlah, apa memang mas Hakim sengaja memberikan rasa penasaran kepada kami, ataukah memang dia benar-benar tidak tahu.

Jam empat sore, kami, pers mahasiswa (persma) berkumpul di tempat mas Hakim. Jam empat ala kami, berkisar setengah sampai satu jam lebih lambat dari jam sebenarnya. Mendung dan gerimis menemani sore. Sempat khawatir meski tak jadi soal jika memang benar-benar akan terjadi hujan. Sampai setelah semua orang berkumpul, kami berangkat menggunakan sepeda motor masing-masing.

Dari Penaongan, sebutan dari barak mas Hakim, ber-15 orang kami berangkat. Mendung masih terlihat ingin memuntahkan air. Tapi hanya jatuh gerimis dengan butiran air yang tak sampai membasahi pakaian yang kami kenakan. 

Kalisat terletak sekitar 30 menit perjalanan ke arah utara Jember. Dengan kontur daerah yang penuh dengan perbukitan. Karena dekat dengan gunung Raung purba yang pernah meletus hingga melahirkan seribu lebih gumuk di Jember. Makanya, tak heran jika banyak gumuk di kanan-kiri jalan menuju tempat berlangsungnya acara.

Seperti apa yang sudah saya katakan, perjalanan ini masih misterius. Mas Hakim sendiri masih konsisten dengan ketidaktahuannya. Kami berhenti di pertigaan depan RSUD Kalisat pas ketika senja mengantar matahari ke ufuk bagian barat. Kami pun menunggu jemputan dari panitia dan teman-teman yang masih tertinggal di belakang saat perjalanan.

Setengah jam berselang, tiga orang datang menghampiri kami. Saya mencoba mencari tahu lebih dalam tentang acara ini dari mereka. Ketiganya ternyata bukan panitia tapi alumni dari pecinta alam SMAN 1 Kalisat, bernama ekspedisi pecinta alam (Expa). Mereka bilang bahwa tempat acara sudah dekat, hanya sekitar satu kilometer. Dia sedikit menggambarkan setting acaranya penuh dengan hiasan obor dan nantinya akan diisi dengan diskusi dan berbagai acara hiburan.

Kemudian mas Hakim menemui mereka. Dari obrolan merekalah kecurigaanku muncul bahwa mas Hakim sebenarnya sudah tahu. Dia kesana sekitar dua hari sebelumnya. Meski dia bilang hanya mampir di sekretariatnya saja. Setelah semua orang sudah berkumpul, kami berangkat meneruskan perjalanan. Memang tidak begitu jauh, hanya saja di sepanjang perjalanan, setelah keluar dari jalan beraspal, tidak ada lampu penerang jalan. Begitu pelan kami menyusuri jalan. Sebelah kanan ada sungai dan jalan yang kami lalui berupa tanah berbatu.

Kami menyeberangi dua sungai dengan dam (pintu air) yang menyambung. Karena memang sungainya berjejer sangat dekat. Jalan dari keluar aspal sampai pada pintu air itupun tidak lebih lebar dari dua meter dan hanya diterangi dengan lampu sepeda motor kami. Kami merayap begitu pelan.

Setelah melewati sungai yang berjejer itu, terlihat obor-obor dari botol bekas di kanan-kiri jalan. Cahaya temaram, suara aliran sungai, angin malam dan suhu dingin seolah saling melengkapi membentuk suasana yang sulit digambarkan. Sampai pada tempat acara, kami disambut oleh panitia dan taman yang cukup luas, dengan rumput dan tanaman yang tertata rapi. Sebuah gazebo, space panggung yang telah dihias dengan obor, dan peralatan sound lengkap dengan alat musik. Background panggung terbuat dari bahan vinyl bertuliskan “Diskusi Save Gumuk, Cangkruk Bareng Arek-Arek Expa, SMAN 1 Kalisat, 16.42 Kali Jejer Dawuhan Kembar, 12 Oktober 2013”.

Kami pun berkenalan dengan mas Bajil, pelatih Expa. Dari dialah tabir acara ini mulai tersingkap. Mas Bajil ikut hadir dalam acara Save Gumuk sebelumnya (28 September 2013) dan dia mengaku merasa sangat tertarik dengan pelestarian gumuk. Kemudian dengan bantuan mas Hakim, akhirnya tercetuslah acara yang bertajuk diskusi tentang gumuk ini. Acara ini juga salah satu dari rangkaian agenda Expa dalam memperingati hari kelahirannya sejak 2008 lalu. Suatu hari untuk kembali merenungi makna dari kelahiran itu sendiri.


Cangkru’an
Beberapa rombongan datang. Ada empat komunitas yang datang pada malam itu. Karena memang dibatasi hanya dalam ruang lingkup internal. Persma, Pecinta Alam Swapenka Sastra, Keluarga Tamasya dan Expa sendiri. Selain itu, ada juga seorang yang diundang oleh mas Hakim secara khusus, yaitu Cak Dainuri. Cak Dai sangat konsisten berjuang di advokasi lingkungan.

Mas Hakim membuka diskusi dengan mengkaitkan antara sejarah dan mitologi Jember dengan gumuk. “Orang dulu meletakkan makam di bawah pohon tinggi atau di atas tempat tinggi seperti gumuk. Makanya tidak heran jika banyak nama gumuk dinamakan tokoh-tokoh mitologi,” tuturnya.

Selain itu mas Hakim juga membicarakan tentang seset atau capung. Seset mampu mendeteksi sumber mata air alami, dia menduga di setiap gumuk pasti mempunyai jenis seset yang berbeda-beda. Asumsi ini dikaitkan dengan teori bahwa gumuk sebagai galon penyimpan air alami. Dia mulai dengan mencari seset kemudian mencari nama lokal dan nantinya dibandingkan sumber refrensi buku atau internet.

Menyambung perkataan dari mas Hakim, Cak Dai mencoba mengkaitkan teori aliran air, dari up land menuju low land. Up land berada pada daerah Jember utara. Dikatakan up land karena berada di dataran tinggi dan dekat dengan gunung Raung purba. Dan yang paling dekat dengan gunung Raung purba adalah Kalisat. Aliran air itu membawa unsur hara yang baik untuk pertanian. Kondisi ini berpengaruh pada produktifitas daerah low land lebih besar. Padi di daerah utara Jember (up land), berkisar 5 sampai 6 ton per hektar. Sedangkan, bagian selatan (low land) sampai 8 ton per hektar. Aliran hara ini juga bisa berpengaruh pada penggunaan pupuk. Jika up land terjaga, maka persentase penggunaan pupuk bisa berkurang 50 persen.

Namun Cak Dai menegaskan untuk tidak seketika percaya denga apa yang telah dia katakan. Dia ingin mengajak temen-temen untuk tidak puas dengan sesuatu yang belum terbukti secara ilmiah. “Jangan puas dengan apa yang sudah kita miliki sekarang. Ayok belajar untuk terus memperdalam pengetahuan dan kecintaan kita pada lingkungan,” ajaknya.

Setelah mas Hakim dan Cak Dai, hadir guru pembina Expa. Dia memperkenalkan diri dengan nama lapang Ajem. Pak Ajem lebih pada menceritakan pengalaman-pengalamannya dulu saat masih sebagai seorang mahasiswa pecinta alam di tahun 1980. Namun, sampai sekarang pun dia masih peduli dengan dunia pecinta alam. Terbukti dengan kehadirannya di setiap kegiatan Expa seperti pada malam itu. Dia juga menyampaikan bahwa Expa akan mempunyai gumuk hasil donasi dari seorang pengusaha kenalan alumni Expa. Dia berharap anak Expa dapat menjadi pecinta alam yang benar-benar peduli dengan alam.


Mas Hakim, pembicara sekaligus yang memediasi forum, mewacanakan forum-forum seperti ini akan terus hadir mengisi minimnya data-data dan pengetahuan tentang gumuk. Sekaligus sebagai forum sosialisasi Save Gumuk. “Tidak banyak data yang kita miliki tentang gumuk. Untuk itu diskusi ini akan mengisi celah-celah itu. Mari berdansa dengan alam raya,” tuturnya.

Acara selanjutnya berlanjut dengan hiburan dari band temen-temen Expa sendiri, ada fashion show dengan tema Jember Tobacco City, dan makan bareng dengan beralaskan daun pisang memanjang di tengah tempat diskusi. Euforia setelah acara terlihat begitu meriah. Foto bareng, dan berlanjut dengan obrolan kecil dari masing-masing peserta diskusi.

Malam dalam selimut cahaya temaram obor, seakan meneguhkan langkah kami untuk terus peduli terhadap gumuk. Sebuah cagar alam, dan potensi cagar budaya yang masih tersimpan dalam tubuhnya. Semoga eksploitasi gumuk beralih pada eksplorasi fungsi, geologi, dan segala macam bentuk pemanfaatannya terhadap masyarakat. Tidak hanya Jember, tapi setiap tempat yang memiliki gumuk. [Dian Teguh Wahyu Hidayat] 

Salam Lestari! Salam Budaya! Salam Persma!
Jabat Erat!

Gumuk Menangis

Foto Oleh Joko Cahyono
Ikon kedua setelah tembakau di kabupaten jember adalah Gumuk. Gumuk merupakan gundukan tanah yang tinggi seperti halnya bukit atau gunung kecil. Jember juga pernah dijuluki kabupaten dengan seribu gumuk. Tapi keberadaan gumuk tidak mendapat perhatian secara khusus dari pemerintah daerah jember. Sebagian besar kepemilikan gumuk merupakan milik perseorangan. Sehingga seiring dengan berkembangan jaman dan kebutuhan ekonomi semakin meningkat, para pemilik gumuk akhirnya menjual gumuk mereka. Lebih ngirisnya lagi gumuk- gumuk yang telah dijual akan dieksploitasi. Sehingga keberadaan gumuk di jember semakin berkurang.


Gumuk yang termasuk dalam pertambangan galian C banyak mengandung  batu piring, pasir, dan batu pondasi (prejeng). Hal tersebut membuat para pemilik gumuk melakukan penambangan. Akibat dari penambangan tersebut membuat ekosistem yang ada di sekitar gumuk menjadi rusak. Para binatang- binatang yang berhabitat di gumuk masuk ke pemukiman penduduk dan tumbuhan-tumbuhan yang adapun mati.

Eksploitasi yang berlebihan membuat manfaat gumuk seperti diabaikan. Padahal gumuk memiliki fungsi yang penting seperti paru- paru kota,  resapan air dan pemecah angin. Wilayah jember memiliki musim kemarau cukup yang panjang, sehingga keberadaan gumuk sangatlah penting untuk menyimpan pasokan air di wilayah jember. Apabila gumuk terus tereksplotasi maka tidak menutup kemungkinan masyarakat jember akan merasakan kekeringan parah di saat musim kemarau.

Sedangkan untuk para petani, terutama petani tembakau keberadaan gumuk juga memiliki manfaat yang begitu besar. Gumuk yang berfungsi sebagai pemecah angin, dapat memecah arah angin sehingga arahnya tidak langsung turun dan menghempas tanaman tembakau. Angin akan menabrak gumuk dan terhempas ke segala arah dengan laju yang rendah.

Lama kelamaan semakin berkurangnya jumlah gumuk di jember, akan membuat iklim wilayah tidak setabil. Perubahan iklim akan terjadi tidak tepat dengan waktunya, wilayah yang dulu rindang dan sejuk akan berubah menjadi wilayah yang panas dan gersang.

Foto Oleh Joko Cahyono


Salah satu contoh gumuk yang telah dieksploitasi secara berlebihan yaitu gumuk gunung batu. Gumuk yang terletak di jalan karimata, kabupaten jember ini telah rusak akibat penambangan. Akibat dari penambangan yang berlebihan telah membuat semua sisi gumuk tersebut rusak. Gumuk yang dulu menjulang tinggi sekarang sudah hampir rata dengan tanah, kira- kira sudah 85% dari bagian gumuk yang telah di tambang. Dapat dilihat pula keadaan ekosistem di sekitar gumuk sudah terlihat gersang, tumbuhan banyak yang rusak dan mati, struktur tanahnya pun sudah rusak.

Di sebagian sisi- sisi gumuk pun juga terlihat sampah- sampah bangunan bekas renofasi rumah yang telah dibuang. Sehingga membuat lingkungan di sekitar gumuk semakin rusak. [Joko Cahyono]


*) rawatlah bumi ini dan seisinya maka kamu akan dikasihi oleh bumi ini

Sumber: http://idesiidiot.blogspot.com/2013/08/gumuk-menangis.html

Sedikit-sedikit Capung, Sedikit-sedikit Capung, Capung kok cuman sedikit

Dahulu ketika aku masih kecil, sekecil pengetahunku tentang capung. Aku kira capung hanya hewan kecil yang tidak punya arti. Sepulang sekolah, aku bermain menangkap capung dengan wadah pastik putih. Aku kumpulkan sebanyak aku bisa, seperti kompetisi saja kala itu. Aku bersama temanku menangkap dan menagkap, tapna harus tahu buat apa nantinya jika sudah aku tangkap.


Capung Tentara (Vj Lie)


Warna-warni capung menjadikan Vj kecil begitu bersemangat menagkapnya, terkadang sampai lupa dengan makan siang. Masih aku ingat saat itu, ada capung yang sulit aku tangkap dengan tangan kosong. capung yang berwana hijau dengan sikapyang selalu waspada, seperti tentara. Ya, capung itu biasa aku sebut dengan Capung Tentara. Dia sulit untuk aku dekati namun dengan kecerdikan, aku bisa menangkapnya dengan umpan capung yang lebih kecil dari capung tentara.

Pekarangan rumah menjadi tempat favorit menagkap capung, rumput hijau dan pagar dari tanaman tetean menjadi tempat capung kecil maupun besar berkumpul. Mereka bertengger di rumput yang rendah namun terkadang dia gak sungkan untuk menclok diranting bambu yang tinggi. Nyayian (kleng dudukleng mburimu ono maling) sering aku alunkan berkali-kali saat temanku sedang berancang-ancang menagkap capung.

Sekarang baru aku mengerti, keberadaan capung sangat ada kaitannya dengan air bersih ditempat itu. Dipekarangan rumah sekarang yang sering aku lihat hanya capung Tentara dan capung memean. Saat senja aku melihat capung putih yang terbang begitu cepat, dengan terbang tanpa henti di atas Sumur. Aku sedikit tersenyum ketika anak-anak kecil tidak lagi berminat untuk menagkap capung, tapi aku juga sedih karena berkurangnya capung brarti berkurang juga air bersih ditempatku tinggal.

Perubahan yang tidak baik sedang terjadi tanpa kita sadari, capung-capung mulai menghilang ketika kita sedang asyik membangaun pondasi gedung dengan merusak pori-pori aliran air bersih didalam tanah. Ketidak tahuan membuat kita tidak menyadari jika capung ada keterkaitan erat dengan adanya air bersih. Bukan salah orang yang tidak tahu tapi salah kita yang tahu tentang itu tidak memberi pengetahuannya pada mereka yang tidak tahu. Sedikit menyisipkan tentang pentingnya capung dalam celotehan kita di Warung Kopi mungkin akan bermanfaat untuk kehidupan selanjutnya. [VJ Lie]


Sumber: http://vjlie.blogspot.com/2013/11/capung.html









Semakin Sedikit Air Bersih = Semakin Sedikit Populasi Capung

Kartunis: Afwan Bahry

Rabu, 23 Oktober 2013

Yang Ingin Disuarakan oleh #SaveGumuk

1382407128725914864
#SaveGumuk

Save Gumuk, acara yang digawangi oleh muda mudi Jember ini seperti tak ingin berhenti bergeliat. Setelah sukses menggagas acara mandiri bertajuk #SaveGumuk pada tanggal 28 September 2013 yang lalu (bertempat di Gumuk Gunung Batu - Jember), disusul kemudian dengan acara diskusi #SaveGumuk - Cangkruk Bareng Arek-Arek EXPA SMAN 1 Kalisat. Acara #SaveGumuk kedua yang digelar pada 12 Oktober 2013 ini juga dibarengi dengan pagelaran seni karya dari Sispala EXPA Kalisat.

1382408163853549299
Jember Fashion Tembakau

Ohya, sehari setelah digelar acara diskusi Save Gumuk di Kalisat, esoknya gantian kawan-kawan IMPA AKASIA Fakultas Hukum Universitas Jember menggelar acara Seminar bertajuk, Perlindungan Hak Inanimatif di Wilayah Pertambangan. Adapun biaya Pendaftaran Seminar Advokasi “Perlindungan Hak Inanimatif di Wilayah Pertambangan” tersebut sebesar 5000 rupiah dan diserahkan seluruhnya untuk kegiatan pengumpulan koin #SaveGumuk. Total dana yang diperoleh dari kegiatan IMPA AKASIA tersebut sejumlah Rp. 1.150.000,-

13824105082069887218
Seminar ‘Perlindungan Hak Inanimatif di Wilayah Pertambangan’ Pada 13 Oktober 2013

Apa Sih Acara Save Gumuk Itu?
Sebenarnya ini sudah saya jelaskan di tulisan sebelumnya berjudul Save Gumuk.
Jadi begini. Kota Jember memiliki Sumber Daya Alam bernama Gumuk. Bentuknya bisa dikatakan sama seperti gumuk-gumuk yang ada di kota lain. Namun menurut para ahli, gumuk di Jember memiliki tipe dan kandungan yang berbeda. Tapi saat ini saya tidak sedang berhasrat untuk menjlentrehkannya. Ada yang lebih penting, yaitu fungsi gumuk bagi masyarakat Jember secara luas.
Jika dilihat dari bentang alamnya, Jember ada diantara dua gunung besar, Argopuro dan Raung. Di sebelah selatan, kota ini berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Logikanya, Jember ada di zona potensi bagi terpaan angin. Jika tidak ada pemecah atau penetralisir angin, maka hal tersebut akan menjadi bahaya laten tersendiri bagi masyarakat Jember. Kabar baiknya, Jember memiliki pemecah angin alami, itulah gumuk. Bentuknya yang seperti bukit, terhampar dari utara hingga selatan, adalah keuntungan tersendiri. Saya pernah juga menuliskannya di kompasiana, berjudul; Gumuk di Jember: Pemecah Angin yang Alami.

Melihat betapa pentingnya keberadaan gumuk dari sisi ekologi, sosial, budaya, ekonomi, dan pengetahuan, mendorong muda mudi Jember menggagas acara #SaveGumuk. Ini bukan acara yang pertama, hanya melanjutkan tongkat estafet yang pernah digagas oleh generasi sebelumnya. Ya, tidak ada yang baru di bawah sinar mentari. Bagi saya, semakin banyak acara serupa, semakin bergizi.

Fungsi Gumuk Selain Sebagai Penetralisir Angin
Apakah fungsi gumuk hanya sebatas pemecah dan penetralisir angin? Tentu saja tidak. Gumuk bermanfaat untuk dijadikan zona tamasya yang murah dan terjangkau. Di sini juga hidup berbagai macam plasma nutfah sebagai penyangga ekosistem.
Kadang kita sering melupakan bahwa gumuk adalah penyimpan air dalam jumlah galon yang besar. Bisa dikatakan, gumuk adalah galon air raksasa yang siap mensejahterakan masyarakat dan lingkungannya. Sayang, yang terjadi di lapangan tidak demikian. Sudah menjadi rahasia umum jika Jember mulai bermasalah dengan air. Entah itu pencearan, entah itu kekurangan air. Aneh ya, di wilayah dimana gumuk berceceran, masih saja ada cerita seperti itu.

Yang Ingin Disuarakan Oleh #SaveGumuk
Jika dirangkum, hanya ada dua poin yang ingin disuarakan oleh #SaveGumuk.
1. Sosialisasi tentang manfaat keberadaan gumuk
2. Pengumpulan koin untuk (membeli) gumuk.
Ya, manfaat gumuk (terutama dari sisi ekologi) harus disosialisasikan pada khalayak. Jika tidak, maka yang terjadi adalah eksploitasi secara membabi buta. Sampai detik ini, kegiatan #SaveGumuk menghindari untuk menyalahkan pemilik gumuk yang mengeksploitasi gumuk miliknya hingga rata dengan tanah. Ada yang lebih diutamakan, apalagi kalau bukan sosialisasi. Bentuk sosialisasi bisa berupa pengadaan diskusi seperti yang selama ini sudah dilakukan, atau disosialisasikan secara gerilya, dari mulut ke mulut. Memang terdegar tidak efektif lagi melelahkan. Setelah dicoba, ternyata tidak juga.

Koin Untuk Gumuk
Bagaimana dengan koin untuk gumuk? Kenapa ‘membeli gumuk’ dirasa penting oleh muda mudi Jember? Sebabnya adalah karena rata-rata gumuk yang ada di Jember dimiliki oleh perseorangan. Logikanya, si pemilik gumuk memiliki hak penuh untuk melakukan apa saja pada gumuk miliknya.
Jika masih belum ada aturan yang transparan mengenai pelanggaran hak privat yang disalahgunakan secara berlebih hingga merugikan masyarakat, maka dirasa penting untuk melakukan proses ‘iuran kolektif’ untuk pembelian gumuk. Dengan harapan, muncul embrio-embrio lain yang melakukan gerakan yang sama. Atau yang lebih keren lagi, penyelenggara daerah turut aktif menggagas aturan sederhana ini. Itu akan membuat para muda yakin bahwa gumuk sudah baik-baik saja, hingga tak perlu lagi ada acara semacam #SaveGumuk :)

Setelah Berhasil Membeli Gumuk, Lalu Apa?
Ini adalah pertanyaan yang akhir-akhir ini semakin populer di kalangan kawan-kawan Jember sendiri. Setelah berhasil membeli gumuk, lalu apa? Bagaimana dengan status kepemilikan tanahnya? Apakah nantinya sertifikat tersebut atas nama rame-rame? Jika demikian, tentunya yang terdaftar dalam sertifikat bisa lebih dari 50 orang, karena pembelian tersebut dilakukan secara kolektif. Jika salah satu dari mereka meninggal dunia, maka akan menjadi sebuah kerepotan tersendiri.
Jika diwakafkan, bagaimana? Bukankah itu akan aman dari sisi ekonomi? Dalam artian, daya tawar pada tanah wakaf sudah tidak ada lagi alias nol rupiah. Namun, ketika tanah itu kita wakafkan, maka kita sudah tidak memiliki hak lagi untuk ikut campur. Apabila yang diberi kuasa untuk mengelola tanah wakaf tidak seperti yang kita harapkan, maka ini adalah masalah baru.
Bagaimana jika gumuknya dibeli dan dibuat akta pelepasannya kepada negara atau kepada pemda? Bukankah ini juga solusi? Adapun keuntungannya, biaya-biaya pemeliharaan termasuk pajak (PBB/retribusi) dan lain-lain, ditanggung oleh pemda atau negara. Sayang sekali, politik seringkali mempengaruhi kebijakan. Mungkin saja kepemilikan oleh pemerintah tsb dilakukan ruislag atau dibuat perubahan peruntukan.
Kabar baiknya, sejak semula #SaveGumuk sudah memberi garis batas akan hal ini. Saya rasa, dalam hal #SaveGumuk, netral memang jauh lebih indah.
Menyadari akan keruwetan yang akan terjadi, saya kira sudah waktunya kegiatan #SaveGumuk melirik pakar di bidang pertanahan untuk mengurusi hal ini (pemilikan tanah oleh badan hukum) secara profesional. Untuk itu, sampai detik ini, kawan-kawan Jember berkonsultasi dengan Ibu Irma Devita, seorang Notaris/PPAT yang tinggal di Jakarta.

Penutup
Dalam kegiatan #SaveGumuk, pembelian gumuk adalah poin kedua. #SaveGumuk lebih mendahulukan sosialisasi (dari berbagai sisi) karena dirasa sudah tidak ada waktu lagi untuk menunda kesadaran kritis kita akan betapa pentingnya keberadaan gumuk, dan SDA-SDA lain di sekitar kita.
Total uang ‘koin untuk gumuk’ yang ada hingga hari ini (dari penjualan kaos, donasi, dan sebagainya) adalah sejumlah Rp. 5.750.000,-. Memang masih jauh dari harga gumuk. Kami yang di Jember masih butuh banyak doa. Doakan semoga kami bisa dan tidak lelah. Terima kasih.

Salam saya, RZ Hakim

 
Diambil dari http://green.kompasiana.com/penghijauan/2013/10/22/yang-ingin-disuarakan-oleh-savegumuk-601267.html?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter

Hentikan Eksploitasi Gumuk, Selamatkan Masa Depan Jember



Ekosistem alam termasuk manusia di dalamnya harus bergerak secara seimbang. Di Jember, ekploitasi gumuk mulai bermunculan pada tahun 1990. Salah satu kandungan gumuk yaitu batu piring, dianggap memiliki nilai ekonomi yang tinggi jika dibongkar. Sebagian besar gumuk-gumuk di Jember dihancurkan demi kepentingan ekonomi segelintir orang saja. Padahal gumuk merupakan fenomena bentukan alam yang unik dan mempuyai fungsi salah satunya sebagai penahan terhadap terjadinya bencana alam.

 “Dulu kita sering mendengar bahwa Jember itu kota seribu gumuk. Jadi yang namanya julukan itu kan suatu identitas. Dan identitas itulah yang sebenarnya ingin kita rebut kembali. Dulu bisa dikatakan ada seribu lebih, sekarang sudah tinggal enam ratusan, termasuk salah satunya yang ada dibelakang kita yang kondisinya sudah terekploitasi. Sepertinya sudah hampir rata,” ujar Cak Oyong, Pendiri Sekolah Bermain.

Bagi Cak Oyong, mengembalikan gumuk yang sudah hilang itu mustahil. “Namun masih ada harapan kita dapat mengurangi aksi-aksi ekploitasi dari mereka yang berduit,” imbuhya. Memang sebagian besar gumuk-gumuk di Jember merupakan milik perorangan. Kemungkinan besar untuk mencegah munculnya ekploitasi gumuk masih bisa dilakukan dengan berbagai cara. Entah itu melalui pendekatan persuasif dengan cara menularkan wacana seputar fungsi gumuk atau yang lain.

Ir. Wahyu Giri mencurigai penyebab munculnya puting beliung yang merusak Kota Jember beberapa bulan yang lalu. “Kasus puting beliung di Kota Jember itu kan aneh, beberapa tahun yang lalu ada kejadian seperti itu. Sejak tahun 85 saya tak pernah ada cerita bahwa di Kota Jember pernah ada puting beliung,” ungkapnya. Sebelumnya tak ada catatan dalam sejarah bahwa Jember pernah dilanda puting beliung. Diduga fenomena alam semacam ini muncul karena semakin banyak gumuk yang dihancurkan. Tentu saja seiring dengan kehancuran itu maka fungsi gumuk sebagai penahan dan pemecah angin akan ikut musnah juga.

Menurut Giri, pada Tahun 2005, pernah ada diskusi yang memunculkan pembahasan serius seputar gumuk. Kala itu kesimpulan diskusi didapatan, bahwasanya tidak semua gumuk di Jember yang harus diselamatkan. Namun harus dipilah gumuk yang mana yang memang harus diselamatkan dan gumuk mana yang bisa dirubah menjadi lahan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Akan tetapi tak ada keberlanjutan nyata setelah diskusi itu selesai.

Memang jika dilihat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jember yang sekarang masih dibahas, tak ada itu gumuk yang menjadi bentang geologi unik yang harus diselamatkan. Tapi menjadi terancam semuanya untuk tambang, eksploitasi. “Semoga gumuk menjadi bentang geologi untuk yang masuk dalam RTRW,” ujar Giri.

Selain itu Giri juga mengungkapkan harapannya jika pada nantinya gumuk berhasil dilindungi dengan cara membelinya terlebih dahulu. “Kalau gumuk terbeli, mimpinya itu adalah wakaf, mohon maaf bagi yang beragama lain, tapi cuma saya mengistilahkan wakaf ini adalah menjadi kehilangan hak milik. Cuma saya yakin teman-teman yang sudah donasi tidak kehilangan hak pahala. Nantinya (gumuk yang terbeli) untuk apa, gak usah diapa-apakan saja hasilnya sudah lumayan. Tetapi bisa jadi gumuk itu menjadi wahana pendidikan, bisa juga untuk menyimpan atau mengkoleksi tanaman langka, macam-macam lah, mimpi itu bisa dibangun bersama-sama,” jelasnya. Sampai tanggal 26 Juli 2013,  dana yang berhasil dikumpulkan oleh Wahyu Giri dan para pecinta alam di Jember yang peduli pada gumuk terkumpul Rp 5.135.707.

Di sisi lain setelah tahun 2005, sumber literasi seputar gumuk-gumuk di Jember tidak berkembang. Seperti apa yang dikatakan oleh Lozz Akbar, blogger Jember, “Jika kita ketikkan kata JFC di google, maka akan temukan banyak sekali informasi. Tapi kalau kita ketikkan kata gumuk, akan kita dapatkan sedikit sekali informasi tentang gumuk. Paling akan kita temui referensi gumuk pasir di Parangtritis atau mungkin tulisan lama teman-teman pecinta alam. Padahal kalau kita pikir, sebelum Jember Fashion Carnaval itu bergema di dunia, kita sebenarnya sudah memiliki ciri khas yang tidak ada duanya di dunia,” ungkapnya.

Seiring tidak berkembangnya referensi seputar gumuk, ternyata tingkat pengetahuan warga Jember terhadap gumuk masih sangat rendah. “Kemarin kurang lebih seminggu yang lalu, saya memasang logo dari save gumuk. Kemudian banyak orang yang bertanya, apa itu gumuk? Ini orang-orang Jember sendiri ternyata masih banyak yang tidak tahu mengenai gumuk,” tutur Akbar.

Lozz Akbar juga menyayangkan penambangan batu-batu yang dikandung oleh gumuk. Dia juga berharap agar kegiatan semacam ini memberikan penyadaran kepada publik mengenai betapa pentingnya fungsi gumuk. “Tapi sayang, lambat laun gumuk dikeruk karena kepentingan seseorang. Mudah-mudahan aja acara ini saling menyadarkan ingatan kita bersama bahwasanya gumuk tidak bisa dikuasai secara individu, tapi buat bersama-sama,” ungkap Akbar.

Mengenai kegiatan itu RZ Hakim, Pemerhati Lingkungan, Vokalis Tamasya mengungkapkan rasa bangganya terhadap Pers Mahasiswa Jember atas terselenggaranya save gumuk dengan menggandeng kerja kolektif jejaringnya. “Untuk acara save gumuk motor penggeraknya kawan-kawan Persma se-Jember. Persma juga tidak menutup mata, mereka juga mengajak komunitas-komunitas yang lain. Salut buat kawan-kawan Persma se-Jember yang bisa mengajak semua komunitas, termasuk mengajak proaktif kawan-kawan pecinta alam, kesenian, dan kawan-kawan punk,” ujarnya.

Acara yang dihadiri ratusan pengunjung ini bertujuan untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga dan merawat gumuk-gumuk di Jember. Memang gumuk-gumuk di Jember sebagian besar adalah milik perorangan. Namun ketika dihancurkan yang menanggung dampaknya bukan hanya Jember tapi Indonesia. Sebab gumuk yang selama ini melindungi kita dari akan hadirnya bencana alam.[Dieqy H W]

Minim Kepedulian Pemerintah Daerah dengan Gumuk, Pemuda Jember Mengadakan Save Gumuk



Gumuk merupakan sebuah gundukan tanah yang menyerupai bukit namun volumenya lebih kecil dari gunung. Dulu Jember mendapat julukan sebagai ‘kota seribu gumuk’. Akan tetapi secara perlahan ribuan gumuk itu hilang satu-persatu. Ternyata kerusakan lingkungan tersebut menarik simpati dari para komunitas, organisasi, dan band untuk bergabung dalam kegiatan malam donasi ‘Save Gumuk’.

Save Gumuk merupakan suatu jalinan kepedulian kolektif dari berbagai macam komunitas di Jember. Kegiatan yang dimotori oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Jember atau Pers Mahasiswa (Persma) Jember ini berlangsung pada Sabtu Malam (28/9) di Gumuk Gunung Batu, Jember, Jatim. Kemudian mereka bekerjasama dengan Sekolah Bermain, Cangkruk Lewat Botol Kosong, dan Young Gun Veins untuk mengembangkan konsep save gumuk. Setelah itu perlahan komunitas-komunitas yang lain mulai berdatangan untuk membantu kegiatan bertajuk ‘Seribu Rupiah Untuk Seribu Gumuk’ tersebut.

Menurut Nurmaida, Ketua Pelaksana Kegiatan Save Gumuk, “Acara ini sebenarnya sederhana. Kami tak berpikir muluk-muluk untuk membeli gumuk. Tapi acara ini adalah langkah awal kita untuk mempersatukan antara UKM, LPM, komunitas se-Jember, dan semua lapisan masyarakat untuk sama sama menjaga kelestarian gumuk,” jelasnya. Ia juga menambahkan Semoga setelah adanya acara ini, banyak mahasiswa dari beragam fakultas maupun universitas yang melakukan penelitian terhadap gumuk.

Dalam sambutannya, Nurul Priyantari, S.Si, M.Si, Pembantu Dekan III Fakultas MIPA Universitas Jember (UJ), sangat menghargai kegiatan semacam ini, “Di tengah berita yang semakin marak tentang kenakalan remaja, di sini kita bisa sangat terhibur dengan kepedulian kalian terhadap alam. Sebagai generasi muda tentunya harus punya kepedulian terhadap alam. Saya sangat mengapresiasi sekali acara ini,” ujarnya. Nurul juga menambahkan harapannya agar acara semacam ini ditindaklanjuti dengan kegiatan lain yang lebih serius.

Gumuk Gunung Batu merupakan salah satu gumuk di Jember yang kondisinya memprihatinkan. Gumuk tersebut sudah tinggal separuh, sedangkan bagian yang lainnya sudah habis dieksploitasi. Dalam kegiatan save gumuk, pemandangan alam yang setengah rusak tersebut dijadikan sebagai background panggung. Selain itu gumuk dihiasi dengan banyak obor dan para pengunjung yang datang diharuskan melalui rute yang disediakan oleh panitia, yaitu melewati gumuk terlebih dahulu sebelum menuju lokasi kegiatan.

Beberapa personil band indie Jember yang hadir dan ikut mengisi acara save gumuk mengungkapkan keluh kesahnya terkait kondisi lingkungan alamnya. “Kita tahu kondisi gumuk di Jember salah satunya seperti yang ada di belakang kita saat ini. Acara ini setidaknya membuat kita sadar bahwa ada hal yang sangat kritis,” ungkap Dion, Vokalis Black Dog. Hal serupa juga diungkapkan oleh Alex Gunawan, Vokalis The Penkors, “Sangat besar peran gumuk bagi masyarakat, dan sangat masuk akal sekali jika kita harus menjaga keberadaan gumuk agar jumlahnya tidak semakin berkurang. Tetap pelihara gumuk yang tersisa. Semoga lebih banyak lagi yang mencintai gumuk-gumuk yang masih tersisa,” ujarnya.

Acara save gumuk ini berisi Acoustic Band Performance, Pembacaan Puisi, Pertunjukkan Tari Kedok Putih, Cangkruk’an, Pengumpulan Koin Untuk Gumuk, Pengumpulan Botol Kosong, Aksi Tanda Tangan Solidaritas Save Gumuk, dan Live Art Performing. Accoustic Band Performance diisi oleh penampilan band indie Jember beberapa di antaranya yaitu, The Penkors, Black Dog, From This Accident, Pispot, Gudang Production, dan Tamasya.

Sedangkan pembacaan puisi oleh dua penyair muda Jember yaitu Halim Bahriz dan Abdul Gani, menjadi suatu momentum perenungan. Oleh karena itu pembacaan puisi berniat mengajak para pengunjung merenungkan seputar hasrat manusia untuk merusak ekosistem alam. “Takdir harus dirumuskan, Di sana kita lahir dan menemukan diri sebagai manusia,” sepenggal syair yang dibacakan oleh Abdul Ghani. Kemudian Tari Kedok Putih dipersembahkan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Kurusetra, Fakultas Ekonomi, UJ.

Live art performing merupakan penampilan para pegiat street art Jember di lokasi kegiatan. Dengan bermodalkan cat semprot, para seniman muda tersebut menunjukkan kebolehannya dalam menorehkan cat di atas vynil. Diantaranya Fiky Old Skull Hart Kore (OSHK),  Dullboy OHSK,  Asgar Fucking My Name (FMN), Mubin Tuban Rest, Nizar Everything of Art (EVA), Jejaring para artis street art lokal Jember tersebut bergabung dan menggambar bersama di lokasi kegiatan. 

Selain itu ada rangkaian acara pengumpulan koin untuk gumuk yang menjadi inti acara save gumuk. Inisasi pengumpulan donasi untuk membeli gumuk ini sudah ada sejak lama oleh beberapa orang pecinta alam di Jember. Mereka berkeinginan untuk merubah status gumuk sebagai kepemilikan pribadi menjadi milik bersama. Oleh karena itu kami berniat mendukung rencana membeli gumuk dengan cara mengumpulkan donasi.

Sebelum kegiatan ini berlangsung, panitia sudah menyebar kotak donasi di beberapa titik. Teknis dan penjagaan kotak donasi dibantu jejaring organisasi maupun komunitas di Jember. Kemudian ketika acara berlangsung, kotak-kotak donasi tersebut dikumpulkan untuk kemudian dijumlah hasil donasinya. Berdasarkan hasil hitungan sementara di akhir acara, Rp 3.085.050 hasil donasi yang berhasil dihimpun dari kotak donasi dan penjualan kaos #SaveGumuk. [Dieqy Hasbi Widhana]